tersesat di hutan, terasa menyenangkan

131 87 24
                                    

Pagi yang seharusnya tak ingin kulihat akhirnya datang juga.

"Pagi bu " sapaku melihat ibu yang sibuk menyiapkan bekal di meja makan, aku berjalan lesu lalu duduk di samping ibu.

"Pagi, sudah siap semua?" Tanya Ibu mengingatkanku

"Sudah semua bu, roti isi?"

"Ini ibu bawakan dua kotak. Untuk kamu dan Dira." lagi-lagi Dira yang ibu ingat, Ibu masih saja tak menyerah bahkan roti isi nya kemarin sudah ditolak laki-laki itu. Begitulah Ibu, ia akan memperbaiki apa yang sudah retak untuk kebaikan anak-anaknya.

"Baik bu, semoga Dira ngga marah lagi." Senyumku, sembari menyiapkan dan mengingat lagi apa yang belum di masukan ke dalam tas.

"Pasti Dira akan luluh sama roti isi Ibu," gumamku, aku senyum-senyum sendiri ketika ingat wajah Dira setelah senang menerima roti isi dari Ibu.

"Iya, ibuku yang baik." kupeluk ibu dan kukecup pipinya, bersiap memakai sepatu kets berwarna putih.

"Sudah berangkat sana, nanti telat."

"Iya bu, Rinjani berangkat." pamitku, meninggalkan ibu yang masih sibuk membereskan piring sisa sarapan tadi pagi.

++++

Sekolahku sudah ramai dengan puluhan siswa siswi memakai baju ala ala pendaki dengan ransel besar dipunggungnya.

 Sedangkan, Dira belum terlihat di halaman maupun di dalam bis. Bu guru mulai mengabsen kami untuk masuk satu per satu kedalam Bis.
Semua siswa di kelasku sudah datang kecuali Dira, bahkan saat namanya berkalikali dipanggil dia masih saja belum muncul.

Bis mulai berjalan pelan, kepala nya sudah keluar dari gerbang sekolah, tiba tiba supir berhenti mendadak membuat semua yang ada didalam bis tersungkur kedepan.

"Gila kamu!" Teriak pak sopir, ia mengeluarkan kepala dari sisi jendela yang terbuka. memaki anak yang berdiri menghadang Bis.

"Ada apa pak?" Tanya Pak Wanto

"Itu ada anak laki-laki didepan bis Pak." Supir menunjuk sosok laki-laki itu, wajahnya tak asing ketika Pak Wanto melihatnya.

"DIRAAAA !!! " Teriak bapak paruh baya itu, Dira hanya tersenyum tengil dari balik jendela depan Bis.

"Maaf pak, saya telat." Dira masuk tergesah gesah, nafasnya menderu lelah. Dengan tas ransel besar yang ia bawa.

"Sana, duduk di samping Rinjani." tegur pak Wanto, menunjuk bangku kosong disebelahku.

"Ehh pindah dong, kamu duduk samping Rinjani." Pinta Dira menyuruh teman perempuan didepan ku pindah. Ia duduk tanpa melihatku, sepertinya ia masih marah. Terlihat jelas dari wajahnya saat itu.

Perjalanan lumayan jauh, berkelok kelok menaiki bukit dan deretan kebun teh.
Hutan pinus dekat dengan danau yang sering ku datangi bersama Dira, tempat yang tak begitu asing untukku. Hanya saja, tempatku berkemah masih benar-benar hutan yang asri. Tak ada rumah penduduk di dalamnya.

Sesampainya disana semua berkemas merapikan barang bawaan, bersenda gurau satu sama lain. Sedangkan aku hanya menyeret kaki dan tas ransel yang kubawa, menampakan muka lesuh melihat keasyikan mereka. Maklum, aku manusia introvet yang tidak mudah bergaul dengan orang lain. Yang ku punya hanya Dira dan Dhani.

"Rinjani, kamu bawa apa? " Tanya seorang teman melihatku seorang diri, seperti anak ayam yang tersesat.

"Oh— aku, ba–wa Roti isi," ucapku sedikit terbata bata mengeluarkan satu persatu barang bawaan .

"Bawa tenda maksudku." Pertanyaan yang membuatku ingat kalau tenda kutaruh diteras rumah, ternyata aku lupa membawanya karena terburu buru tadi.

"Waduh, aku lupa." wajahku seketika panik, memikirkan akan tidur dimana malam itu.

Tentang Rasa  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang