Dermaga bersama hujan

178 124 52
                                    

Aku dan Dira masuk ke halaman, duduk diteras dengan air mata yang tetap jatuh seperti benua antartika bagian utara yang meleleh.

"Dhani ya ? " Tanya Dira membungkuk, manik matanya menatap ku dengan alis berkerut.

"Iya, dia bersama gadis itu,"ucapku sesenggukan, karena tak bisa menahan rasa sakit karena perempuan itu.

"Apa harus aku yang bicara sama manusia brengsek itu. Agar kamu ngga terus terusan menangisi dia!" Seru Dira dengan nada sedikit menggertakku. Jelas, wajahnya sangat marah saat itu.

"Kamu mau ngomong apa sama Dhani. Jangan berkelahi lagi Dira." Tatapku memohon, karena sudah berulang kali Dira terlibat perkelahian dengan Dhani.

"Ikut aku!" Serunya, ia bangkit dan menarik paksa lengan tangan kananku.

"Kemana?"tanyaku dengan tatapan aneh ke arahnya, wajahnya mengerut marah dengan kaki yang tak sabar beranjak dari rumah.

"Sudah ikut aja, bisa?"ucapnya dengan tatapan tajam, Bahkan. tangannya mengganggam erat tanganku, Sehingga menimbulkan bekas memerah.

"Mau kemana ?!" Tanya ku lagi, membuat badanku yang ramping hampir jatuh ke lantai. Menahan daya tarik Dira yang memaksaku untuk bergegas meninggalkan rumah.

"Sudah, jangan banyak tanya!" Serunya.

"Tunggu !"ucapku memberhentikan langkah kakinya .

"Kenapa?"

"Mau ambil jaket dulu, diluar dingin."

Aku mengambil jaket jeans di kursi ruang tamu. "Ah, selalu saja begini." Pelikku kesal.l, Membatku lupa mengunci pintu rumah karena terburu-buru pergi.

Motor Dira membawa ku melaju ditengah kota dengan suara gemuruh pertanda hujan akan turun ke bumi. Hingga, akhirnya aku tau kemana Dira mengajakku.

Dingin membuat tanganku mengekerut. Namun kabut juga datang dengan hujan rintik-rintik yang turun. Saat ku lihat dari kejauhan, dimana motor Dira terparkir. Akhirnya sampai juga di sebuah danau kecil dengan dermaga kayu di ujungnya. Dengan serangkai lampu kecil menghiasi sisi dermaga dengan indah. Begitu melihat sisi danau dengan jarak pandang yang ssngat minim, mungkin hanya bisa mendengar suara kicau jangkrik yang menggesekkan ke dua sayapnya.

Aku dan Dira berjalan perlahan menuju dermaga. Dermaga kayu yang sedikit rapuh di setiap sudut nya. Mungkin rayap lebih dulu menyantap badan jembatan ini dari pada aku yang datang menapaki kayu nya.

"Kenapa kesini?" Tanyaku

"Duduk aja, sini." Aku mengikuti langkahnya. Duduk di ujung dermaga itu dengan suara gemuruh yang datang dengan butiran hujannya .

"Aahh kan hujaaann," kataku ingin berteduh dibawah pohon. Tetapi, Dira menahan tanganku dan memintaku tetap tinggal lebih lama.

"Sini aja,"ucapnya memandangku. Memberi isyarat dengan kedipan satu kelopak matanya.

Dira mulai menengok ke atas, merasakan datangnya hujan yang semakin deras.
Tanganya dibentangkan ke atas, seperti ingin memeluk air yang mulai membasahi dermaga.

"Coba rasakan rintikan hujan ini, pejamkan matamu lalu diam berberapa detik." Dira memejamkan matanya, sedangkan wajahnya menghadap ke langit, lantas. Air hujan datang mengguyur rambutnya. Tetapi, laki-laki itu hanya tertawa kecil ke arahku.

"Sama kayak nangis di shower kamar mandi ya," ucapku dengan senyum meruncing ke arahnya.

"Sering nangis di shower kamar mandi ya." Ejekknya, bahkan ia tertawa di balik bibir merahnya.

"Kadang sih,"ucapku dengan pipi memerah karena malu.

Hujan hanya sebentar mampir. Sepertinya ia tau kalau aku butuh dia dibanding berkucur dibawah shower kamar mandi. Lalu, aku dan Dira duduk di ujung dermaga dengan baju yang basah kuyub dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menyisahkan getar bibir tanda kedinginan sudah merasuki tubuhku.

Tentang Rasa  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang