Malam kemarin aku merasakan apa yang aku rindukan setelah berbulan bulan lalu, membuat rasa sakit karena putus dengan Dhani tak teringat lagi, membuat jantungku berdetak kencang.
Semalaman aku tertidur di sampingnya, walaupun hanya di jok mobil ditengah hutan."Dir, sarapan apa?" Aku dan ia berjalan bersamaan menuju pintu vila
"Pak No, sarapan apa kita ?" Teriak Dira melihat pak No yang sedang menutup gerbang.
"Sudah saya siapkan mas, ada roti bakar dimeja," ucap Pak No sedikit berlari kearahku dan Dira, menunjuk meja makan yang sudah siap dengan roti dan dua gelas susu tertata rapi disamping piring.
"Terimakasih pak No," ucapku, lalu duduk dikursi dan menyantap roti bakar sedikit gosong di pinggirnya.
"Sama-sama neng," ucap pak No beranjak pergi meninggalkanku dan Dira di ruang makan.
Setelah menghabiskan sisa terakhir roti Bakar, aku beranjak ke dapur untuk menaruh piring di tempat cuci.
"Mau ikut aku?" Tanya Dira menatap ku
"Kemana?"
"Duduk di sofa," ucapnya, membuatku mengikuti langkahnya ke ruang tengah. Bermain gitar dan bernyanyi bersama.
Siang yang terik mengharuskan ku pulang ke tempat asal, meninggalkan semua kesenangan, meninggalkan suasana yang sejuk dan berusaha menghadapi lagi realita yang sebenarnya ingin ku lupakan. Mungkin saja Dhani akan datang kerumah, ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan wanita itu.
"Pulang yuk," ajakknya
"Yah, masih mau disini." kataku dengan nada manja, menatap wajahnya memohon
"Nanti Bunda mau kesini, mau ketahuan kalau aku sama kamu disini?"
"Eh, bisa bisa di kawinin kita." tawaku menggodanya. Setelah membereskan ruangan aku dan Dira bergegas ke teras mencari Pak No untuk berpamitan.
"Pak No, pamit ya." Dira mengeluarkan mobil dari garasi vila lalu, aku hanya menunggunya berdiri di sisi jalan.
"Pak No, ingat jangan kasih tau Bunda!" Seru ku mengingatkan pak No, lalu tersenyum saat Pak No tertawa kecil dan mengeluarkan jari jempol tanda oke.
"Baik neng." teriak pak No dengan lambaian tangan dan senyuman di sela giginya yang sudah tak lengkap.
Melewati jalanan yang ku suka, hamparan kebun teh dan kabut mulai menutupi perjalanan pulangku, ku buka jendela dengan Dira yang mulai menyulut sebatang rokok. Untuk sekarang aku tak akan marah ketika Dira merokok. Setidaknya, uap nya tak seperti kereta express yang terus-terusan keluar dari bibirnya.
"Tumben ngga ngomel kalau aku ngerokok?" Dira menatapku aneh karena aku hanya membalas pertanyaanya dengan senyuman.
Seperti sudah biasa, saat ke bukit hampir setiap minggu, jarak yang lumayan sudah tak terasa jauh lagi. Jalanan kota sudah tampak, lalu lalang kendaraan sudah terlihat dengan padatnya aktifitas sekitar.
Rumahku tampak sepi, dari kejauhan terlihat mobil Dhani terparkir di depan gerbang.
"Dhani." pikirku, terlihat sosok itu berdiri di depan pagar."Dhani, kamu mau temui?" Tanya Dira melihat gelagatku yang tak ingin menemuinya. Bahkan, ketika seharian kemarin aku mencoba melupakannya. Namun, hari ini aku bertemu dengannya lagi.
"Ngag apa-apa, aku harus hadapin dia." Aku mencoba menguatkan diri, menegakkan kepala agar Dhani tau aku baik-baik saja. Setidaknya, nafas masih bisa ku atur agar tak menderu cepat.
"Hai," sapaku turun dari mobil Dira, Dhani hanya memandangku aneh ketika aku muncul dari balik pintu mobil laki-laki yang ia benci.
"Rinjani, aku mau bicara." Dhani menarikku kasar. Namun, tangan Dira menahanku. Aku hanya mengedipkan mata memberi tanda untuk melepaskanku, memberi tau bahwa aku akan baik-baik saja.
"Bicara didalam, Dir kamu pulang aja." Tatapku meyakinkan Dira agar meninggalkanku, berbicara dengan Dhani berdua dan menyelesaikan hal yang menggantung sebelumnya.
Dira pergi meninggalkanku berdua dengan Dhani, ku biarkan Dhani duduk diteras rumah menjelaskan apa yang harus dijelaskan saat itu.
"Makasih udah mau dengerin aku."
"Apa yang harus kamu jelaskan? " Ku taruh secangkir teh hangat untuk nya.
"Soal perempuan itu, aku minta maaf." Dhani mencoba meyakinkanku, menggenggam tanganku dan menatap lekat manik mataku.
"Aku sudah tau, saat kamu sudah ngga ada waktu untukku." Aku, berusaha kuat ketika air mata tak bisa ku tahan. Dhani, hanya mentapku yang menangis, menggenggam erat jemarku dan tak berhenti mengusap punggungku untuk menenangkan perasaan.
"Maafin aku, aku juga ingin seperti kamu Rinjani, punya teman seperti Dira yang selalu ada dimana pun kamu butuh." Dhani mulai menyinggung Dira, mungkin benar Dhani melakukan itu karena aku terlalu sibuk dengan Dira dan waktu ku lebih banyak bersama Dira daripada bersama Dhani.
"Aku paham Dhan, aku ngga masalahin lagi, sekarang kamu lebih bahagia bersama yang lain. Aku juga ngga bisa melarang kamu untuk tetap bersamaku atau meninggalkan dia." Ku genggam tangannya, ku tatap wajahnya untuk memberi tau kalau aku sudah mengikhlaskannya pergi bersama gadis lain.
"Maafin aku, aku melukai hatimu." Berulang kata maaf yang ia ucapkan hari itu. Setidaknya, ia dan aku tak lagi bermain hati. Mengungkapkan apa yang selama itu kita berdua sembunyikan.
"Aku sudah memaafkanmu, aku... " Kata kataku terputus, Dhani mengecup keningku lalu memelukku erat. Mungkin ini ciuman dan pelukan terakhir untukku.
"Aku sayang kamu, tapi aku lebih ingin Dira yang mencintaimu." kata kata itu keluar dari mulut Dhani. Lalu, tangan lembut Dhani mengusap air mataku. Ia hanya tersenyum, menatapku dengan tatapan teduhnya. Aku, merasakan kedamaiian saat itu, karena dia dan aku sudah selesai.
"Kita akan tetap menjadi teman kan!" Seruku, menatap wajahnya berharap perpisahan ini tidak menimbulkan perdebatan sehingga membuat jarak antara aku dan Dhani.
"Pasti. Makasih sudah maafin aku."
"Iya , kamu baik-baik sama yang baru ya, maafin aku belum bisa jadi yang terbaik buat kamu berlakangan ini." senyumku menguatkan hati untuk benar- benar merelakan Dhani bersama perempuan yang ia cintai.
"Aku pamit dulu ya." Dhani beranjak pergi meninggalkan ku dan semua kenangan bersamanya dirumah ini. Aku pikir tak apa melepaskan dia untuk bersama gadis yang benar benar mencintainya.
Bahkan aku tak pantas bersanding dengannya, dia yang telah baik saat aku membagi hati dengan Dira, dia yang tetap tersenyum saat aku sedang marah, walaupun sifatnya buruk dan tak romantis seperti Dira, dia yang sudah menemaniku hampir dua tahun belakangan. terimakasih Dhani. Kamu sudah pernah menjadi hal Indah di masanya.
Sepergian Dhani, aku melangkah masuk dengan rasa lega, rasa yang benar-benar bebas setelah tau ada yang bisa mencintai Dhani lebih baik daripada aku.
Aku duduk merenung, menatap daun yang jatuh karena angin. Secangkir coklat panas menemaniku, ia tak pernah absen ketika hatiku sedang gundah. Coklat dengan kandungan zat yang menyenangkan. Ia, selalu mengubah perasaan ku yang sedang hancur menjadi lebih menenangkan.
Rasa memang sudah hilang bersama kenangan, Dhani telah pergi bersama perempuan yang lebih mencintainya.
Aku tetap disini bersama kenanganmu, kehilangan memang menyakitkan.
Tapi, mereelakan mu pergi adalah suatu keharusan.
Semua tentangmu akan baik-baik saja, tersimpan rapi di bilik kenangan .
Selamat tinggal Dhani, aku menyayangimu.🌻Putus baik-baik lebih menyenangkan
Daripada harus memendam dendam🌻--- habis ini fokus ke cerita ending---
--jangan lupa Votmen Gays--
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rasa
Novela JuvenilIni ceritaku, dimana kisah kasih terlarang di mulai. Entah, mengapa bisa terlarang. Mungkin karena aku jatuh hati kepada sahabatku sendiri, di saat aku sedang menjalin rasa dengan Dhani, laki-laki yang menyebutku "sayang". Hidupku semakin runyam. S...