Gadis dalam balutan jilbab putih itu tengah berada di sebuah taman, kumpulan pepohonan rindang dan beberapa bunga cantik tumbuh di sana. Taman yang menyisakan begitu banyak kenangan antara dirinya dan ibundanya. Matanya yang mengedar kini terhenti menatap sebuah ayunan basi tua yang tergantung di pohon besar. Perlahan ia melangkah lalu duduk diatasnya.
Tak terasa cairan bening itu keluar membasahi wajah cantiknya, ia menunduk, menutup rapat wajahnya dengan kedua tangan. Mengingat kembali semua kenangan yang telah lama dipendam, yang kini hanya bisa ia tangisi tanpa bisa ia lakukan kembali.
"Tenanglah Nak, jangan menangis." Suara itu. Sahira mendongak mengingat kembali suara yang tak asing terdengar di telinganya. Ia menoleh melihat siapa sosok yang suaranya begitu tak asing di telinga. Sahira kaget bukan main. Tubuhnya membeku, matanya menatap lekat wajah yang begitu ia rindukan. Air mata itu semakin mengalir deras, kala melihat seorang wanita paruh baya yang sangat ia rindukan, kini berdiri di hadapannya.
"Bunda!" Aisyah ibunda Sahira. Gadis itu pun turun dari ayunan dan memeluk erat ibundanya. Tangis gadis itu semakin bertambah deras. Kala dekapan hangat itu kembali dirasakan setelah sekian lama.
"Rara kangen sama bunda, kenapa bunda ninggalin Rara?"
Bu Aisyah melepas pelukannya dan kini beralih menatap lekat kedua mata putrinya. Lalu meraih wajah Sahira. Dipegangnya kedua pipi gadis itu lalu dikecupnya kening sang putri.
"Apa yang kau alami belum seberapa, Nak. Ini bukan ujian tapi ini tuntutan. Masih banyak kerikil dan batu-batu besar didepan sana yang harus kau lewati. Didepan sana ada kesuksesan yang menanti kamu," ucap Bu Aisyah dengan suara khas nya yang terdengar sangat lembut.
"Rara bingung, Bun ..." ucap Sahira lirih sambil terus menciumi tangan Bu Aisyah yang basah oleh air matanya.
"Kamu masih ingat kan sama pesan Bunda?" Sahira mengangguk karena ia masih mengingat betul amanah bundanya. "Bunda tau ini berat buat kamu, tapi tetap harus kamu jalani," pesannya lagi.
"Rara gak bisa Bun, dan gak akan pernah bisa," ucap Sahira menutup matanya, air matanya pun tak berhenti mengalir.
"Percayalah, Nak, saat kamu pergi. Ayahmu akan baik-baik saja. Allah akan senantiasa menjaganya. Ingat, kesempatan tidak datang dua kali. Jangan sampai kamu menyesal karena sudah menyia-nyiakan kesempatan yang bagus ini."
Gadis itu semakin terisak mendengar ucapan ibunya, lantas memeluk kembali tubuh yang begitu ia rinduka. Aroma yang sudah lama tak ia cium. Dengan berat hati Sahira mengucap, "Baik Rara akan pergi dan menuruti apa mau Ayah. Tapi ... Bunda harus janji. Bunda gak akan lagi ninggalin Sahira sama Ayah," pinta Sahira sebagai syarat.
"Bunda selalu ada disini sama kalian. Bunda akan selalu ada buat kalian. Hanya saja kita tidak bisa bersama lagi," ucap Bu Aisyah, melepas pelukannya lantas berbalik meninggalkan Sahira.
"Kenapa Bun? Kenapa?" Kata itu terus Sahira ulangi.
Bu Aisyah menoleh menatap wajah putrinya sejenak. "Waktu bunda sudah habis Nak, bunda harap kamu bisa menjalankan amanah bunda." Kalimat terakhir yang ia ucapkan. Perlahan Bu Aisyah berjalan menjauh meninggalkan Sahira. Hingga bayangan tubuhnya menghilang, tergantikan oleh kepulan asal tipis.
Sahira berteriak sekeras mungkin memanggil nama ibundanya. Ingin rasanya ia berlari dan menahan langkah ibunya agar tetap disini bersamanya. Namun entah mengapa kakinya bak di pasung, ia hanya bisa terduduk, tubuhnya melemas, ia kehilangan ibunya lagi. Ia tetap tak berhenti menyebut nama ibunya, meski lidahnya sudah tak sanggup berkata lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
Любовные романыDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...