Satu Minggu lalu telah usai, namun tak kunjung ia dapatkan kabar tentang sang pemuda. Betapa menyayat saat hanya bisa menunggu di ujung jendela kamar, menanti kabar baik datang di sela-sela hidupnya.
Gadis itu tak henti menitihkan air mata. Kenapa? Kenapa harus, Tuhan lakukan ini pada pemudanya. Ia mungkin tahu jika semua ini adalah kehendak Tuhan, tapi, mengapa harus disaat ini, disaat ia seharusnya bahagia dengan pemudanya saling mengucap janji di depan para saksi.
Mungkinkah semua ini adalah sebab dari setiap ekspektasi-nya yang terlalu berlebih, berharap bahwa Gus Reyhan akan menjadi miliknya seutuhnya. Ataukah ini adalah wujud kecemburuan Tuhan padanya, dan sebab itulah Tuhan menjauhkannya dengan Gus Reyhan.
Otaknya mencoba berfikir kuat, ia pun semakin merasa bersalah akan semua hal yang menimpa Gus Reyhan.
"Ra!" Sebias suara yang tak lagi asing berhasil membuat ia tersadar dari lamunannya, mengusap cepat pipinya yang basah oleh air mata, mencoba menyingkirkan perasaan bersalahnya.
"Ada apa?" Sahira menoleh menatap lawan bicaranya dengan sebuah senyum paksaan.
Walau tak lagi menangis, Sarah sang lawan bicara pun tau keadaan Sahira saat ini. Dari sudut matanya yang masih memerah, gadis seumuran Sahira bisa melihat sebuah amarah bercampur dengan sakit hati yang mendalam begitu pula sebuah penyesalan.
"Bu Nyai manggil kamu, kamu di suruh ke Ndalem," jelas Sarah.
Mengangguk kecil gadis itu pun melangkah pergi meninggalkan temannya.
"Kamu harus kuat, Allah pasti kasih yang terbaik kok," ujar Sarah saat Sahira baru saja melewati tubuhnya. Sempat berhenti sejenak melemparkan senyum getir sebagai tanggapan dari suport kawannya itu. Sahira kembali melangkah.
Dunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat apapun tenaga dan tutur yang terucap tak akan pernah melunturkan pertahanannya.
Kadang, hati gadis itu bertanya-tanya, apakah kurang selama ini penderitaan yang bumi berikan padanya? Mengambil ibunya yang begitu ia cintai, lalu sekarang ....
Apakah dunia pernah bertanya, apakah hatimu masih kuat Sahira? Apakah kamu lelah? Apakah kamu ingin lari dari semua ini? Namun pada kenyataannya dunia hanya bisa memberi luka tanpa bisa menanyakan kabar dari luka itu sendiri.
Ujian memanglah bagian dari hidup, begitupun manusia, suka ataupun tidak suka harus tetap menjalaninya. Tetapi apakah belas kasihan dari dunia tidak pernah ada untuk ia? Gadis itu tidak pernah berharap Gus Reyhan menjadi miliknya, tetapi hanya berharap agar pemuda itu dapat tersenyum kembali, menghirup udara segar tanpa bantuan selang pernapasan. Hanya itu....
Dan tak lebih dari itu.
Wanita paruh baya yang sendari tadi menunggu kehadiran Sahira, kini tersenyum merekah menatap kedatangan orang yang ia tunggu. "Sahira!" panggilnya yang ia panggil pun menoleh dengan senyuman yang kini jarang tampak di mata siapapun.
"Assalamualaikum, Mi. Kata Sarah Njenengan manggil saya, ada apa?" tuturnya lembut.
"Kamu ikut umi ya! Kita ke rumah sakit."
"Untuk apa Mi?" tanya Sahira penuh heran. Untuk apa Bu Fatimah mengajaknya ke Rumah Sakit? Apa untuk menjenguk Reyhan, dan jika memang benar begitu maka gadis itu akan memilih untuk tinggal di pesantren ketimbang menjenguk pemuda itu, hatinya akan benar-benar tersayat nantinya jika harus melihat orang yang begitu ia kagumi terbaring dengan bantuan alat-alat rumah sakit.
"Reyhan sudah sadar Nak." Mata yang selama satu Minggu ini selalu meneteskan luka yang teramat dalam saat melihat putranya yang ia kasihi melemah bersama cairan infus yang terus mengalir, kini berganti dengan binar kekuatan dan penuh kebahagiaan.
Tanpa disadari perlahan butiran kristal itu keluar dari sudut mata Sahira, menembus relung hatinya. Apakah ini jawaban dari do'anya? Rasanya ia ingin melihat kembali senyuman Gus Reyhan yang selalu menyejukkan hatinya, lalu tutur katanya yang begitu lembut hingga bisa membuat siapa saja terbuai.
•••••••••••••••
"Ada informasi apa?"
Seorang wanita muda dengan paras menawan duduk di singgasananya. Tatapan elangnya tertuju pada seorang lelaki dengan pakaian hitam-hitam yang kini berdiri dihadapannya dengan kepala tertunduk. Tangan kanannya tak berhenti memainkan bolpoin, memutar-mutarnya di atas meja.
"Pemuda itu, dia sudah sadar!"
Sebuah senyuman lebar tanpa perintah terukir begitu saja, saat anak buahnya mengatakan hal yang ia tunggu-tunggu.
Ini adalah saat yang ia tunggu, ia akan kembali bertemu muka dengan pemuda yang masih mengisi hatinya hingga saat ini. Pemuda yang selalu menjadi tujuan dalam hidupnya, yang merubah dirinya menjadi lebih baik. Namun entah kebodohan dari mana ia pun merubah jalan hidupnya sendiri kini.
Brakk...
Ia melemparkan segepok uang lembar berwarna merah, dengan sigap anak buahnya mengambil uang itu lalu tersenyum girang dan pergi."Terima kasih!" ujar wanita itu saat sang anak buah mulai melangkahkan kaki. "Kita akan bersatu, aku yakin."
Bersambung ...
Happy Reading
°°°°°°
°
°
°
°
°°°°°°
Gimana masih ada yang setia menunggu Sahira dan Reyhan?Kira-kira gimana ya keadaan Gus Reyhan sekarang?
Siapa sih wanita yang ngasih uang segepok??
Jangan lupa vote and komen biar author makin semangat :D
And sorry part ini masih cuma sedikit banget, buat awalan untuk next-nya kasih komentar kuyy, tembus 100 komentar usahain up cepet! :D
![](https://img.wattpad.com/cover/216031752-288-k53171.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
RomanceDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...