9🥀

153 11 0
                                    

Selesai menyantap hidangan pagi. Sahira membantu Bu Fatimah untuk membersihkan bekas makanya. Lalu mencuci semua piring kotor. Lalu segera masuk kembali ke kamarnya.

Bergegas membereskan semua barangnya dan memasukkan ke dalam koper. Karena setelah ini Bu Fatimah akan mengantarkannya ke asrama.

Membaringkan tubuhnya adalah cara terbaik menghilangkan rasa lelah. Menatap langit kamar sambil berfikir banyak hal.

"Astagfirullah... aku lupa belum kabarin, Mita!" ucapnya sambil menepuk jidatnya sendiri.

Segera ia bangkit lalu meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Sedikit lama menggeser layarnya mencari kontak sahabat tercinta.

"Assalamualaikum, Rara!" Suara teriakan Mita diseberang sana, membuat Sahira refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Mendengar suara Mita yang sangat keras membuta kepalanya terasa pening.

"Pelan-pelan kenapa ngomongnya. Ini kuping bisa jebol, kalo denger suara petasan kaya gitu," marah Sahira.

"Apa! petasan. Ngawur kamu!"

"Abis ngomong aja kencengnya minta ampun."

"Gimana? udah sampe, terus nyaman gak tempatnya, orangnya baik-baik gak. Nanti kalo ada yang jahat sama kamu, bilang ke aku ya! biar ku tonjok sekalian," cerocos Mita, Sahira hanya bisa menggeleng mendengar penuturan kawannya itu.

"Udah-udah. Aman kok disini tempatnya enak, adem, orangnya juga baik-baik."

"Awas ya jangan sampe lupa sama aku, mentang-mentang tempat baru terus aku dilupain gitu."

Mengobrol banyak hal melalui telepon rasanya kurang. Baru menginjakkan kakinya tanah pesantren ini. Rasanya rindu berjauhan dengan Mita dan Pak Akhmad.

Suara ketukan pintu kembali terdengar. Mencoba menerka-nerka bahwa itu adalah Bu Fatimah. Sahira memilih mengakhiri sambungan teleponnya.

"Udah dulu ya, Mit."

"Jangan du...." Belum sempat melanjutkan ucapannya. Sambungan telepon terputus sepihak. Membuat Mita sangat marah.

Tidak kah gadis itu tau bahwa sahabatnya sangat merindukannya. Atau memang hobinya membuat hati Mita sakit.

"Maaf! ummi ganggu istirahat kamu," ucap Bu Fatimah lalu masuk.

"Mboten nopo-nopo, Mi. Wonten nopo?" tanya Sahira.

"Kamu udah beresin baju? kalo udah ummi anter ke asrama." Sahira menganguk lalu meraih kopernya untuk dibawa ke asrama.

Mereka keluar dari rumah, dan bergegas menuju asrama. Sahira berjalan santai sejajar dengan posisi Bu Fatimah. Sambil melihat-lihat suasana sekitar rumah Bu Fatimah.

Aroma melati menusuk hidung, memberikan suasana nyaman dan rileks. Kebetulan disamping rumah Bu Fatimah terdapat tanah kosong, yang ditanami bunga-bunga, warnanya membuat mata tak ingin berkedip.

Rasa nyaman sangat terasa saat berjalan di pesantren. Tumbuhan hijau turut menemani jalan menuju asrama. Rumput hijau tumbuh dengan rapi dihalaman. Burung-burung yang hinggap dibeberapa pohon menambah ramai suasana.

Beberapa santri tengah duduk di taman, ada juga yang sedang berdiri bersama kawannya dan mengobrol. Mereka memandang kearah gadis yang tengah berjalan bersama Bu Fatimah siapa lagi kalau bukan Sahira.

Wajah cantiknya telah menarik semua pandangan. Bukan hanya mereka bahkan burung-burung pun iri melihat kecantikannya. Bulu matanya lentiknya, hidung mancung, bibir yang merah merona tanpa polesan lipstik. Sungguh, bak bidadari yang tengah menyusuri taman.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang