Allahuakbar Allahuakbar...
Suara merdu azan Subuh berkumandang. Membangunkan setiap umat muslim dari tidurnya.Remaja cantik itu terbangun lalu terduduk sejenak di tepi ranjang. Mengumpulkan sebagian ruh-nya.
Dalam keadaan setengah sadar ia pun melangkah menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh wajahnya.Setelah membasuh wajah ayunya. Ia meraih handuk putih yang ia gantung di balik pintu kamar mandi. Lalu segera melakukan ritual mandinya, tak lupa mengambil wundu dan segera melaksanakan salat Subuh. Lalu melanjutkan dengan melantunkan ayat suci Al-Quran.
•••••••••••••••••••
Jam menunjukkan pukul 06.00, gadis berpipi tembam itu mengakhiri bacaannya, dan melepas mukenahnya, menampakkan rambut panjangnya yang hitam lebat. Perlahan, gadis itu mendekat ke arah jendela, dan membukanya. Mengamati setiap detail keindahan yang di ciptakan Tuhan, terlihat pula matahari yang terbit memberikan sedikit kehangatan setelah dinginnya malam, begitu indah. Menghirup segarnya udara pagi, tercium pula aroma khas tanah basah, sebab hujan semalaman yang tak berhenti. Ditambah dengan pesona tetesan air sisa hujan semalam yang mengguyur dedaunan di taman. Menambah keindahan tersendiri pagi ini.Seperti biasa gadis bertubuh mungil itu berjalan. Melangkah melewati setiap jengkal anak tangga. Lalu berjalan menuju dapur rumahnya, segera mengambil beberapa sayuran dan mencucinya. Ia berniat membuat sarapan untuk sang ayah. Karena tiga puluh menit lagi ayahnya akan pergi untuk bekerja. Ia memasak makanan dengan bahan makanan seadanya yang ia temukan di kulkas dua pintu itu. Gadis itu belum sempat berbelanja untuk kembali mengisi kulkas yang hampir kosong itu.
Hampir setiap saat ia memasak sarapan untuk sang ayah, tak terbesit rasa bosan dalam dirinya. Ia merasa begitu senang bisa memasak untuk orang tersayang, tak jarang ayahnya pun selalu memuji masakannya dan entah kenapa gadis itu sangat menyukainya. Moment yang tak akan pernah terulang ketika nantinya dia sudah menikah dan membangun rumah tangganya sendiri.
"Kamu semalem ngak tidur, ya?" tanya Pak Akhmad di sela-sela menyantap sarapannya. Sedang yang di tanyai hanya terdiam, fokus memainkan garpu dan sendok di tangannya, dan hanyut dalam pikirannya sendiri.
"Sahira!" panggil Pak Akhmad dengan sedikit penekanan.
"Iya, Yah?" Gadis itu terlonjak kaget hampir saja melemparkan alat makan yang digenggamnya.
"Dari tadi diajak ngomong malah ngelamun."
"Maaf, Yah!" ucap Sahira, gadis itu tampak menggaruk kepalanya yang tak gatal, sedikit tersenyum karena merasa bersalah. Sungguh itu tampak lucu.
"Kamu mikirin apa sih?"
"Ngak ada kok, Yah." Memutar bola matanya malas, pak Akhmad tak menanggapi lagi omongan putrinya. Meski mereka sangat dekat, namun gadis bermata coklat itu tak akan mudah terbuka kepada sang ayah. Ketimbang menyerangnya dengan berbagai pertanyaan, Pak Akhmad hanya memilih diam, sebab ia tau, jika memang menyangkut hal penting, putrinya pasti akan menceritakannya.
Mereka pun melanjutkan acara sarapannya dalam keheningan dan menyisakan suara sendok dan piring yang beradu.
♧♧♧♧♧♧♧♧♧
Sore itu hujan deras mengguyur kota Surabaya, awan hitam yang menggumpal di langit, sesekali mengeluarkan suara gunturnya. Hujan yang cukup deras, membuat genangan air dimana-mana. Meskipun demikian tak mengurungkan niat orang-orang yang hendak bepergian, dan pulang ke rumah. Terbukti dari jalanan yang tampak padat, meski di genanggi air layaknya banjir kecil.
Tampak seorang wanita paruh baya berdiri di depan supermarket dengan wajah gelisah, ujung gamisnya tampak basah sebab percikan air hujan yang mengenainya. Wanita itu mengapit kedua tangannya diatas dada sebab udara yang terasa sangat dingin, menusuk tubuhnya yang hanya terbalut gamis panjang.
Terlihat beberapa kantung plastik tergeletak di sampingnya. Mungkin ia baru saja berbelanja dan lupa membawa payung, lalu berakhir terjebak hujan di sini.
"Ini kembaliannya," ucap penjaga kasir sembari menyodorkan beberapa lembar uang kertas pada Sahira. Kebetulan Sahira juga berada disana tengah berbelanja beberapa keperluan rumah yang sudah habis.
"Terima kasih," balas Sahira sembari mengambil uang kebaliannya. Lalu gadis dengan balutan kerudung merah muda itu melangkah keluar dari bangunan berisi bahan makanan tersebut. Sambil menenteng semua barang belanjanya. Cukup berat untuk ukuran tubuhnya yang mini.
Hujan lagi, untung bawa payung, batinnya. Beberapa hari ini memang cuaca sangat sulit ditebak. Beruntung hari ini ia sedikit prepare, membawa payung sebelum hujan. Jika saja tadi ia tak membawanya mungkin ia akan pulang dalam keadaan basah kuyub.
Langkah kecilnya terhenti tepat di depan pintu supermarket. Mengamati sesosok wanita paruh baya yang berdiri dibagian kanan koridor supermarket. Dengan gamis hijau muda yang basah pada bagian bawahnya. Mungkin itu sangat dingin, gumam Sahira dalam hati.
Gadis itu perlahan mendekat pada wanita paruh baya tersebut. "Ibu sedang menunggu seseorang?" tanya Sahira. Wanita itu sedikit tersentak karena kaget. Mendapati seorang gadis muda yang tiba-tiba saja muncul di sampingnya. Lalu sebisa mungkin ia menetralkan suasana.
"Em ... ini, Nduk. Saya lagi nunggu hujan reda, kebetulan mobil saya ada disana," jawabnya sembari menunjuk sebuah mobil Avanza berwarna hitam yang terparkir sedikit jauh dari posisinya berdiri sekarang.
"Kalau begitu mari saya antar, kebetulan saya bawa payung," tawar Sahira dengan senyum manis mengiringi.
"Apa tidak merepotkan, Sampean?"
"Tentu tidak, Bu. membantu sesama itu kan kewajiban seorang muslim."
Dengan payung transparan di gengamannya, Sahira mengantarnya menuju mobil. Meski bahu kanannya harus basah karena terkena tetesan air hujan gadis itu tetap melakukannya dengan ikhlas. Setelah sampai di mobil yang dimaksud, ibu itu buru-buru memasukkan barang belanjaannya ke dalam mobil. Wanita paruh baya tersebut juga menawari untuk mengantar Sahira pulang, namun bukan Sahira namanya jika tak menolak.
Hingga akhirnya setelah berdebat karena Sahira menolak untuk diantar, berakhir gadis itu dengan berat hati duduk di samping kursi pengemudi. Ia merasa tak enak harus merepotkan orang seperti ini. Perlahan mobil itu berjalan. Menembus hujan yang kian semakin deras dengan kecepatan sedang karena keadaan jalan yang cukup licin.
"Nama kamu siapa, Nduk?" tanya wanita itu ditengah keheningan yang tercipta diantara mereka. Hanya menyisakan deru mesin mobil yang terdengar samar-samar.
"Nama saya Sahira, Bu. Ibu sendiri?"
"Nama saya, Fatimah," jawab Bu Fatimah dengan senyum. "Kamu ini, masih sekolah atau...?" tambahnya.
"Kebetulan saya baru lulus kuliah Bu." Bu Fatimah tersenyum mendengat jawaban gadis ayu itu, tersirat rasa kagum dalam hatinya. Ia tak menyangka gadis muda dan cantik sepertinya ternyata masih melek dengan pendidikan. Ditengah gempuran banyaknya anak muda yang memilih untuk menikah muda. Pula mereka yang menyepelekan pendidikan dengan berbagai alasan yang dibuat.
"Hebat kamu ini Nduk, sudah cantik, sopan, baik, bergelar sarjanah pula. Paket komplit kamu ini," canda Bu Fatimah. 'Andai dia jadi menantuku' batinnya.
"Tidak perlu berlebihan Bu," ucap Sahira malu-malu, ia merasa belum pantas di puji sedemikian, ia hanyalah manusia penuh kekurangan.
Sekitar dua puluh menit mereka berbincang banyak hal. Dengan arahan dari Sahira, mereka pun sampai di halaman rumahnya. Bersamaan dengan hujan yang sudah reda entah sejak kapan, mungkin mereka tak menyadarinya karena asik mengobrol.
Tak lupa mengucapkan terima kasih dan mencium tangan Bu Fatimah. Sahira segera pamit undur diri, berjalan masuk ke kediamannya. Sedangkan Bu Fatimah menancap kembali gas mobilnya, agar segera sampai di kediamannya.
Setelah langkahnya benar-benar memasuki rumah megah itu. Ia meletakan payungnya dibelakang pintu. Lalu menuju ke dapur untuk meletakan barang belanjaannya. Tak lupa kembali mengecek apakah ada yang kurang atau tidak.
Bajunya yang basah membuatnya sedikit kedinginan. Ia memutuskan untuk mandi sebelum ia masuk angin dan merepotkan ayahnya nanti. Lalu melanjutkan dengan duduk santai di kamarnya, sembari menunggu kepulangan sang ayah.
Heppy reading
••••
•
•
•
•
••••Awali Kegiatan Mu Dengan Bacaan Basmalah 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
Roman d'amourDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...