Rasa penasaran semakin memenuhi otak Gus Reyhan. Tanpa menunggu lama ia mencoba membuka perlahan buku itu. Lalu....
Sampulpun terbuka dan menampakan halaman pertama dalam buku. Tampak tulisan cantik nan-rapi disana. Perlahan, kata demi kata ia baca dengan seksama. Dan wajahnya pun menampakkan sebuah lengkungan manis. Yang terbentuk bak bulan sabit.
•••••••••••••••••••
"Hari ini ngajar, Ra?" tanya Sarah pada Sahira yang masih setia berbaring pada ranjangnya.
"Tidak. Kebetulan hari ini aku gak ada jam."
"Syukur, deh. Kamu jadi bisa istirahat, aku lihat beberapa hari ini kamu sibuk banget. Belum lagi kalau ada kegiatan santri, kamu harus keteteran kesana kemari karena jabatan wakil ketua kamu itu.
"Kamu harus jaga kesehatan, Ra. Dimasa sibuknya kamu, jangan sampe nanti sakit. Terus kamu juga harus kurangin kegiatan kamu, kita kan gak tau kapan sakit itu datang," cerocos Sarah memberi petuah.
"Siap, Bos."
"Ra... aku mau ke masjid dulu ya, mau tadarus sama anak-anak. Kamu istirahat aja, biar besok bisa vit lagi," pamit Sarah. Lalu beranjak untuk mengambil kitab suci-nya dari dalam almari dan bergegas pergi.
"Iya. Salam ya buat anak-anak, maaf aku gak bisa ikut tadarusan." Sarah menganguk sambil mengacungkan jempolnya lalu melangkah meninggalkan kamar.
Sahira kembali membaringkan tubuhnya. Lalu meraih ponselnya dan bermain disana. Sudah lama dia tak memainkan ponselnya, ia segera membuka aplikasi WhatsApp di ponselnya.
Sekali menyalakan data, ponsel Sahira tak henti-hentinya berbunyi menandakan begitu banyak pesan yang masuk. Ribuan pesan berasal dari grup SMA dan SMP-nya. Seratus dua puluh pesan dari kontak Mita.
Tak mau lama-lama ia segera menghubungi ayahnya. Walau hanya menanyakan kabar dan melepas rindu sesaat.
"Assalamualaikum..." ucap Sahira sesaat telponnya diangkat oleh Pak Akhmad. Lalu dijawab dengan salam juga oleh Pak Akhmad.
"Anak ayah apa kabar, baik kan. Semoga gak ada masalah lagi ya, jangan lupa jaga kesehatan kan sekarang kamu sibuk ngajar. Jangan lupa minum vitamin," cerocos Pak Akhmad di ujung sana.
"Ih, Ayah mah... dari tadi nanya terus, kapan Rara ngomongnya?" rengek Sahira.
"Iya maaf, ayah kangen banget sama kamu."
"Rara baik kok, Yah. Terus Ayah sendiri bagaimana, sehat kan? Kerjaan juga gimana, lancar? Rara kangen banget sama Ayah. Liburan juga masih lama, masih satu bulan lagi." Kecerewetan yang sudah tertanam sejak kecil itupun kembali lagi.
"Baik, semuanya baik. Oh ya, Minggu depan ayah mau ke pesantren. Ayah mau jenguk kamu," ucap Pak Akhmad yang membuat Sahira menyungging senyum.
"Beneran? Cepetan ya, Yah! Rara udah kangen banget," rengek Sahira.
Begitu banyak rasanya hal yang ingin Sahira sampaikan kepada sang ayah. Mulai dari sensasi menjadi seorang guru, dan masih banyak lagi. Namun waktu tak menghendaki, mereka hanya bisa berbincang seputar kesehatan masing-masing.
Setelah sambungan terputus. Sahira memutuskan untuk keluar mencari udara segar.
Kakinya mulai melangkah hendak keluar dari kamarnya. Namun seseorang menghentikan langkahnya.
"Ra, tunggu!" cegah Rumi. Yang berdiri didekat jendela kamar tak jauh dari pintu keluar.
Sahira menoleh dengan pemikiran aneh. Kenapa Rumi tiba-tiba memangilnya? Ada apa ini? Ia tak ambil pusing. Ia pun berhenti dan Rumi perlahan melangkah menghampirinya.
"Aku mau ngomong sama kamu sebentar, boleh gak?" tanya Rumi dengan nada halus.
"Iya boleh, duduk disini aja." Mereka pun duduk dengan nyaman di kursi yang ada di halaman kamarnya, tepat dibawah pohon mangga.
"Aku mau minta maaf, Ra. Soal waktu itu, aku gak ada niatan, aku minta maaf sekali lagi aku salah," ucap Rumi dengan kepala menunduk penuh keseriusan.
Sahira menghela nafas panjang, lalu berkata, "kamu gak usah minta maaf, lagi pula aku sudah maafin kamu kok. Kalau Allah saja maha pemaaf, lalu untuk apa aku musuhi kamu."
Sahira menyungging senyum sembari menatap lekat wajah Rumi yang kelihatannya penuh keikhlasan. Begitupun Rumi tersenyum padanya.
"Aku memang bodoh, udah melakukan hal gak baik itu ke orang sebaik dan setulus kamu," kata Rumi dengan mata yang berbinar.
"Kamu mau gak, temenan sama aku?" tanya Rumi.
"Kalau bisa kenapa enggak? Lagi pula nggak dan kata terlambat untuk satu hal yang baik, kan?"
Keduanya saling memaafkan dan kini saling berteman. Setelah ucapan maaf Rumi itu, mereka melanjutkan perbincangan dengan membahas banyak masalah dan disinilah kedekatan mereka dimulai.
Entah kedekatan diantara tulus dan keikhlasan atau bahkan sebaliknya.
••••••••••••••••••••
Sebuah mobil Avanza putih memasuki halaman pesantren lalu bergerak menuju halaman depan rumah Bu Fatimah. Dan memarkirkan diri disana.
Ternyata Gus Rayan dan Najwa sedang berkunjung. Dengan mengucap salam mereka pun masuk ke kediaman Bu Fatimah.
Raut wajah bahagia tampak pada keduanya. Pertemuan anak dan ibu ini memanglah pertemuan yang kesekian kalinya. Namun rasa rindu tetap hinggap di hati Bu Fatimah, meskipun ia bisa melihat wajah putranya kapan saja.
Karena seburuk apapun tempat tinggal dan keadaan kita, ibu adalah tempat terindah untuk kepulangan kita. Dan itupun yang dirasakan Gus Rayan.
"Maaf ya, Mi. Rayan jarang kesini, nengok Ummi. Habis Rayan lagi sibuk banget," ucap Gus Rayan mengawali perbincangan.
"Ndak apa-apa, lagi pula pekerjaan kamu lebih penting. Kan kamu bisa kesini kapan saja."
"Jadi begini, Mi, lusa Rayan harus pergi ke Bandung, sama Najwa, dan Rayan gak bisa ajak Naufal. Karena disana pasti repot banget, Rayan mau nitip Naufal disini beleh tidak, Mi?"
"Tentu boleh, Naufal kan cucu ummi. Lagi pula kalau disini ada Naufal pasti tambah rame. Emang mau nginep disini berapa lama?"
"Ya, sampe kita selesai aja, Mi. Paling satu Minggu, gak lama kok, Mi."
Perbincangan mereka berlanjut dengan ditemani teh hangat dan beberapa camilan. Dan tak lama Gus Reyhan datang dengan Gus Reffan yang baru saja melaksanakan salat Asar di masjid pesantren.
Mereka pun ikut berbincang bersama. Sedangkan Naufal sedang bermain di kamar Gus Reyhan.
"Kerjaan kamu bagaimana, Han?" tanya Gus Rayan yang siap untuk menyeruput teh hangat di cangkirnya itu.
"Alhamdulilah, Mas, lancar. Kebetulan Minggu kemarin habis menang tender lagi. Terus penjualan juga meningkat," jawab Gus Reyhan dengan wajah bahagianya.
Ia merasa bahagia, karena bisa menepati janji pada pamannya, untuk memajukan perusahaan yang bergerak di bidang property itu. Setelah perjuangannya melawan rasa takut, akhirnya semua berujung pada keindahan.
"Alhamdulilah kalau begitu. Walaupun jurusan mu bukan berhubungan sama perusahaan, tapi kamu cukup pintar soal itu, Han. Mas bangga sama kamu," puji Gus Rayan.
"Sekarang Reyhan udah jadi, wakil direktur, loh," sambung Bu Fatimah.
"Beneran?" Gus Rayan tampak kaget mendengarnya. Bukan bermaksud tak ingin memberitahukan berita baik ini namun Gus Reyhan merasa malu jika harus mengatakan hal ini.
Lagi pula ini cuma sebatas untuk menggantikan posisi pamannya. Mungkin juga, setelah pamannya kembali dari Bandung, Reyhan akan kembali lagi ke posisi awalnya.
Perbincangan itu diakhiri dengan makan malam. Dan malam ini Gus Rayan memutuskan untuk menginap di kediaman ibunya. Lalu lusa ia akan pergi ke Bandung untuk mengurusi pekerjaannya.
Bersambung...
Heppy reading
••••
•
•
•
•
••••
Awali Kegiatan Mu Dengan Bacaan Basmalah 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
RomansaDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...