Susana pagi yang begitu sejuk. Dengan aroma tanah basah yang sangat sedap menusuk hidung. Meski tanah masih becek tak menyulitkan niatan ketiga gadis itu.
Rumi, dengan kedua sahabatnya. Sedang bersantai duduk di bawah pohon rindang. Yang berada di dekat masjid pesantren.
"Kok bisa sih? Dia kan anak baru disini," dengus Rumi. Merasa kesal karena Sahira terpilih menjadi wakil Gus Reffan.
"Iya, aneh banget gitu. Gak habis fikir aku sama Gus Reffan," sambung Wina.
"Tapi Sahira itu, pantes kok jadi wakilnya Gus Reffan, dia kan cantik."
"Alisa!" teriak Rumi dan Wina bersamaan, lalu sama-sama menatap wajah Alisa dengan tatapan elangnya.
"Iya kenapa! Isa salah ngomong ya," jawab Alisa dengan lugunya, membuat Rumi semakin pening.
"Lo itu, berpihak ke dia, apa ke kita sih?!" bentak Rumi dengan nada meninggi. Sedang yang ditanyai malah menggeleng kuat.
Lain halnya mereka dengan Alisa. Alisa adalah si jujur. Meskipun pemikirannya agak oleng sedikit. Tapi dia itu paling tidak bisa diajak bohong. Sifat dan cara bicaranya, juga seringkali membuat Rumi dan Wina marah.
"Lama-lama, gua ceburin ke kolam, Lu." Amarah Wina semakin memuncak.
"Udah! jangan debat, gua pusing tau. Mending kita mikirin gimana caranya, supaya cewe itu nggak lagi, deket-deket Gus Reffan," ucap Rumi serius.
"Lagian, Rumi kan nggak ada hubungan apa-apa, sama Gus Reffan. Jadi gak apa-apa dong, kalau si Sahira jadi wakilnya Gus Reffan." Kata-kata jujur itu kembali terucap dari bibir Alisa.
"Lo diem aja, deh!" sahut Wina geram.
"Masalahnya adalah, dia itu bakal jadi wakilnya Reffan, dan gak di ivent ini doang. Dia bakal selamanya jadi wakilnya Reffan, dan gua gak rela, Isa." jelas Rumi panjang lebar."Oke! Gua punya rencana." seru Rumi. Mereka membentuk lingkaran, mendiskusikan rencana jahatnya untuk Sahira.
Apalah yang akan mereka lakukan, untuk Sahira. Gadis yang tak tahu apa-apa, kini akan menjadi korban kejahatan mereka.
Rumi sangat membenci setiap orang yang mendekati Gus Reffan, bukan tanpa alasan. Sudah dari awal saat ia menginjakkan kaki di pesantren ini, ia sudah menjatuhkan hatinya pada Gus Reffan.
Jiwa sombong akan kekayaan itu membuatnya mau melakukan semua hal untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Padahal belum tentu Gus Reffan menjatuhkan hati padanya.
•••••••••••••••••
Lain halnya Rumi lain pula Sahira. Kini Sahira dan ketiga kawannya sedang beradu argument, membahas tentang Sahira yang dijadikan sebagai Wakil Ketua panitia.
"Heran aku sama Gus Reffan, kenapa dia pilih aku. Padahal, aku kan masih baru disini," ucap Sahira halus.
"Mungkin dia, suka kali sama kamu!" seru Vivin. Sahira kaget mendengar perkataan Vivin yang memang benar adanya. Lalu melayangkan tatapan tajam ke arahnya.
"Mungkin aja bener, kata si Pipin." sambung Putri.
"Kamu bisa bahasa Indonesia gak? berapa kali sih, aku bilang. Jangan panggil aku Pipin namaku Vivin, catet tuh." marah Vivin.
"Udah! debat Mulu," ucap si pelerai Sarah. Dan pertempuran pun berakhir. Mereka melanjutkan perbincangan dengan menyantap camilan.
••••••••••••••••••
Siang ini saat matahari berada tepat diatas kepala, rasa panas menyelimuti. Mencoba menghilangkan rasa bosan dan gerah tubuh. Sahira mencoba berjalan menyusuri sekitaran pesantren, untuk mencari udara segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
Любовные романыDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...