"Siapa?" tanya Sahira kebingungan.
Tak ada balasan dari Mita, ia hanya menunjuk seorang pemuda berpostur tubuh tinggi yang berdiri didekat kolam renang. Pemuda dengan balutan jas kotak-kotak dan sepatu warna putihnya.
Mita mengganyunkan tangannya bermaksud menyuruh pria itu mendekat. Setalah melihat Mita perlahan pemuda itu melangkahkan kakinya mendekat.
"Hay," sapa pemuda itu pada Sahira, dan dibalas anggukan. Cukup tampan. Ditambah dengan tatanan rambutnya yang dibuat miring ke samping membuatnya tampak gagah.
"Gua tinggal bentar ya, Bro. Lanjutin ngobrolnya," seru Mita ia menepuk pelan pundak pemuda itu dan pergi.
"Boleh kenalan nggak?" tanya pemuda itu sedikit canggung.
"Boleh," jawab Sahira dengan wajah tertunduk. Tanpa sedikitpun menatap wajah sang pemuda.
"Nama aku Rico, kalo nama kamu?" tanyanya sembari mengulurkan tangan gagahnya.
"Namaku sahira," balasnya singkat, lalu menyatukan kedua telapak tangan dan mengangkat tangannya ke arah dada.
Dengan wajah memerah menahan malu. Riko menurunkan uluran tangannya. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal itu. Lalu duduk.
Menyisakan keheningan diantara keduanya. Sahira hanya diam menunduk menatap layar pipih yang menyala itu. Sambil sesekali menggeser geser layarnya.
Sedangkan Rico dengan leluasa memandangi gadis cantik yang duduk dengan anggun didepannya itu. Sambil sesekali tersenyum melihat teman dari kawannya itu.
Sungguh dua orang yang sangat bertolak belakang. Sahira adalah wanita yang pendiam dan tak mempunyai keberanian menatap mata pria. Jangankan menatap berbicara saja ia sangat enggan. Sedangkan Mita, bisa dibilang dia gadis yang lumayan agresif. Ia lebih banyak dekat dengan lelaki dibandingkan Sahira.
"Ehm... Kamu masih kuliah?" tanya Rico memecahkan keheningan diantara mereka.
"Baru lulus," jawab Sahira singkat, dengan pandangan yang dialihkan.
"Gimana udah selesai ngobrolnya?" sahut Mita yang secara tiba-tiba datang. Sahira menatap sejenak jam di tangannya lalu berdiri dengan wajah yang tampak cemas.
"Mit, aku pulang dulu ya. Soalnya pak Nasir udah jemput didepan," ucap Sahira. Mita mendengus sedikit kesal karena Sahira baru sebentar disini dan akan pulang secepat ini.
"Cepet-cepet banget sih, Ra. ini baru jam berapa?" Menatap jam diponselnya. "Baru juga jam sepuluh lebih lima belas menit, bentar lagi lah," bujuknya.
Mungkin bagi gadis seperti Mita waktu seperti ini masih ia anggap sore. Tapi berbeda dengan Sahira. Gadis yang jarang keluar malam itu. Menurutnya jam sepuluh malam itu sudah sangat larut.
"Ngak bisa Mit. Ini udah malem. Lagian besok bisa main lagi kan."
"Yaudah aku anter kedepan, ya!" Mita pun pergi mengantar Sahira sampai kedepan gerbang rumahnya.
Sebelum Sahira benar-benar masuk mereka sempat berpelukan sejenak sambil cipika-cipiki.
"Aku duluan ya, Mit," pamit Sahira lalu masuk kedalam mobil. Diakhir dengan lambaian tangan. Lalu pertemuan mereka berakhir.
Perlahan mobil Sahira mulai melaju. Sehingga netra Mita tak lagi menangkap lajunya. Ia memutuskan untuk kembali ke dalam karena banyak tamu yang masih ada disaan. Saat Mita hendak berbalik badan untuk masuk ke dalam dan..
"Akhh ...," teriak Mita kaget karena melihat Rico yang secara tiba-tiba berada di belakangnya.
Sedangkan yang mengagetkan hanya asik tertawa menatap ekspresi kaget Mita yang sangat lucu menurutnya.
"Emang dasar ya, Lu. Ngagetin Mulu," bentaknya kesal lalu memukul bahu Rico beberapa kali dengan keras. Membuat sang pemuda mnegaduh kesakitan.
"Aduh ... aduh ..." keluh Rico sembari mengelus pelan bahunya yang menjadi nyeri sebab dipukul sekeras itu. Diam-diam tenaga Mita besar juga.
"Mampus, Lu," sorak kegembiraan Mita. Rico mendelik menatap tajam Mita dan berakhir dengan juluran lidah Mita yang membuat emosi Rico semakin bertambah.
"Bye the way, temen lu cantik juga, Mit."
"Ye iye leh, siape dulu sahabatnya," ucap Mita dengan sombongnya.
"Iya percaya deh." Rico mengambil Mita dan didekapnya dalam rangkulan. Lalu sama-sama melangkah ke dalam rumah untuk menyambut sisa-sisa tamunya.
••••••••••••••••••
"Besok kamu siap-siap, Ya!" ucap Pak Akhmad disela-sela makan siangnya.
"Siap-siap?" Dengan santai Sahira memasukan makanan ke mulutnya. Sembari berfikir apa arti siap-siap.
"Siap-siap buat pergi ke pesantren." Mendengar penuturan sang ayah gadis itu terbatuk-batuk karena tersedak makanannya sendiri.
"Nih minum, gitu aja keselek." Pak Akhmad menyodorkan segelas air putih pada Sahira. Tanpa menahan lagi Sahira langsung mengambil air itu dan meneguknya.
"Ayah serius?"
"Ya serius toh Nduk, kalo nggak serius ngapain ngomong."
"Buru-buru banget toh Yah, lagian rara masih mau disini sama ayah. Rara masih mau menikmati liburan kuliah Rara," elaknya. Ia berharap ayahnya akan mengurungkan niat.
Jika tidak ingin mengubah keputusan setidaknya ia bisa berlama-lama disini. Menikmati kebersamaan yang selama ini terhalang tugas kuliah.
"Ya kan semakin cepat semakin baik Nduk. Kebetulan sahabat ayah ada yang mendirikan pesantren, dan tempatnya tidak jauh dari sini."
"Tapi yah....." Belum sempat melanjutkan pak Akhmad malah memotong pembicaraan. Membuat gadis dua puluh tahun itu semakin kesal.
"Tapi apa lagi, kan sudah jelas yang ayah bilang, kamu akan ke pesantren dan menimba ilmu disana, ingat kesempatan ngak datang dua kali," tegasnya membuat Sahira diam dan tak tahu harus mencari alasan apa lagi.
Gadis itu menghentikan acara makanya. Lalu dengan kekesalan ia beranjak dari duduknya. "Rara ke kamar dulu," ucapnya tegas. Setelah itu ia benar-benar pergi hadapan sang ayah.
Pak Akhmad menggeleng pelan. Menyaksikan kemarahan Sahira. Lalu ia juga turut menyudahi acara makannya dan pergi ke kamarnya.
Sahira berlari menuju kamarnya dengan wajah yang sudah dipenuhi cairan bening. Ia membanting tubuhnya ke ranjang dan menangis sejadi-jadinya. Menenggelamkan kepalanya diantara kedua tangannya yang terlipat.
Ia bangkit, tatapannya kini beralih pada sebuah bingkai foto. Sebisa mungkin ia sandarkan tubuhnya pada penyangga ranjang. Tangan mungil itu meraih bingkai kayu dengan sosok wanita cantik didalamnya.
"Ayah tega banget sama Rara. Andai ... Bunda masih disini sama Rara. Rara pasti mau pergi ke pesantren tanpa dipaksa seperti ini. Rara tidak tega kalau meninggalkan Ayah sendirian Bun.... Bunda tahu itu kan? Rara tidak mau Ayah kesepian. Rara juga tidak mau jauh dari Ayah.
"Cukup dengan kehilangan bunda yang membuat Rara sedih. Sekarang Rara tidak mau jauh dari Ayah. Rara kangen sama Bunda ... saat ini cuma Bunda yang tau perasaan Rara. Hiks...hiks..." Ia berdialog dengan foto bundanya dengan Isak tangis yang tak dapat terbendung lagi.
Air matanya masih mengalir dengan deras membasahi pipi mulusnya. Matanya menatap lekat wajah sang Bunda yang kini hanya bisa ia lihat dari sebuah foto. Ia menatap dalam foto ibunya lalu memeluknya dengan erat. Bak disayat seribu belati, perasaan kacau kini berkecamuk dalam dadanya.
"Jawab Rara bun, jawab! Apa salah kalau Rara mau tinggal disini sama Ayah, jawab Rara Bun ... jawab ...!" seru Rara dengan air mata yang semakin deras mengalir.
Ia hanya mampu memasrahkan diri padanya sang maha pencipta. Namun hatinya masih tak yakin dengan jalan pikiran ayahnya.
Tubunya semakin melemas efek dari tanggungan yang hebat. Perlahan matanya mulai terpejam dan ia mulai larut dalam dunia mimpi. Meninggalkan sejenak rasa kesal dan tangisnya.
Heppy reading
••••
•
•
•
•
••••
Awali Kegiatan Mu Dengan Bacaan Basmalah 🍁

KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
RomanceDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...