Hujan masih air, dan ketika turun ia akan tetap membasuh bumi. Daun tak selamanya menetap di ranting. Karena ketika kering ia akan tetap jatuh. Langit kian sangat cerah menyinari hari-hari manusia-Nya.
Masa lalu? Tak ada yang tahu jikalau nantinya di masa depan. Masa lalu akan muncul kembali. Terkadang akan menjadi hal baik bagi kita. Atau bahkan memperburuk kehidupan baru kita.
Cicin dengan satu permata indah menempel disana. Kini telah melingkar kuat di jari Sahira begitupun Gus Reyhan. Menyambut hari-hari yang kini menjadi kebahagiaan bagi keduanya. Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Kini mereka bisa bernafas lega. Hanya menunggu waktu dan menyelesaikan berbagai persiapan.
Gus Reyhan kini sedang duduk sambil mengikat tali sepatunya. Dengan balutan jas hitam yang tampak cocok ia pakai untuk menutup lekuk tubuh kekarnya.
Pagi-pagi, putra kedua Bu Fatimah itu segera bersiap. Untuk menjalankan amanah dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan. Kini ia harus menghadiri metting dengan klien barunya.
Selesai sudah mengikat tali sepatunya. Dengan langkah yang tegap pemuda dengan mata hitamnya itu melangkah keluar, menemui sang ibu untuk berpamitan.
"Hati-hati ya, Han. Jangan telat makan nanti kamu sakit," pesan kecil dari Bu Fatimah. Membuat putranya menyungging senyum. Lalu bergegas meninggalkan pelataran rumah.
Memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Walau jalanan memang tidak terlalu ramai. Satu kebiasaan yang bisa menjadi contoh. Bahwasannya pelan-pelan yang penting selamat.
Tangan kekar itu terus memegang stir. Matanya tak henti menatap setiap jengkal jalan yang ia lewati. Dengan senandung sholawat yang ia putar di radio. Membuat hatinya kian tenang. Sambil sesekali turut bergumam mengikuti alunan sholawat yang terdengar lembut di telinga.
Tiga puluh menit berkendara ia pun sampai di parkiran luas, yang kini telah dipenuhi puluhan mobil dan motor milik pegawainya.
Melangkah memasuki gedung pencakar langit itu, setelah memarkir mobil kesayangannya. Masuk dengan gagahnya yang cukup bisa membuat semua mata terkagum. Tubuh tinggi dan kekar itu kian membuat semua mata takjub. Tak heran jika banyak yang menjatuhkan hati padanya.
Dengan banyak sambutan dari para karyawannya. Ia sesekali tersenyum saat mendengarnya.
Kembali melangkah menuju ruangan dengan tembok yang didominasi kaca. Kursi tempat ia duduk tampak megah. Duduk diatasnya membuat dirinya dipandang tinggi banyak orang.
"Selamat pagi, Pak. Siang ini kita ada metting dengan klien dari Jogja, bapak tidak lupa kan?" Sapaan itu hadir sesaat setelah seorang Reyhan duduk di atas kursinya.
Gadis dengan rok mininya itu meletakkan segelas teh di meja Gus Reyhan. Nada bicaranya yang sedikit diper-lembut membuat Gus Reyhan merasa jijik padanya.
"Siapakan saja semuanya, saya tidak lupa," balas Gus Reyhan tanpa melirik sedikitpun wajah sang sekertaris. Lebih tepatnya sekertaris pamannya.
Bagaimana bisa pamannya itu betah dengan sekertaris seperti dia. Caranya menarik perhatian lelaki sangatlah menjijikkan. Membuat Gus Reyhan sedikit risih padanya.
"Baik Pak, kalau begitu saya permisi," ucapnya lalu pergi meninggalkan ruang kerja Gus Reyhan.
••••••••••••••••••
Waktu mengiring menunjukkan pada Gus Reyhan bahwa saat ini ia harus pergi untuk menemui kliennya.
Tas sudah berada di tangan begitupun dengan kunci mobilnya. Ia sudah sangat siap untuk bertemu klien barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
RomanceDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...