38🥀

178 13 4
                                    

Hari demi hari terus berganti seiring jarum jam berputar. Menjajaki setiap angka yang tertera disana. Menyisakan setiap kenangan disetiap detik yang terlewatkan. Suka? Duka? Semua berbaur menjadi satu. Menyisakan satu nama "Kenangan" entah indah atau buruk namun perlu dikenang kedepannya.

Satu bulan penuh terlah berlalu. Menyisakan hari-hari kedepannya yang tak kita tahu alurnya. Semoga baik! Hanya itu doa yang dapat terucap.

Gadis bergamis merah muda itu tampak duduk di bangku taman pesantren. Menatap kedepan, menghirup aroma tanah yang begitu ia rindu. Sudah lama ia liburan dan menghabiskan waktu di rumahnya, rasanya begitu rindu.

Merindu akan suasana pesantren yang kian membuatnya nyaman. Suasana dingin malam yang semakin menghangat. Rindu suara jangkrik saat tengah malah. Merindu akan sentuhan islami yang begitu melekat. Rindu akan suara lantunan ayat suci yang begitu lirih, halus terdengar.

Persiapan demi persiapan pernikahan Sahira sudah mulai rampung. Ia juga sudah mencetak undangan untuk dibagikan pada sanak saudara keduanya. Rupanya, Bu Fatimah telah menyiapkan pernikahan super mewah untuk keduanya.

Halaman pesantren yang maha luas itu akan dijadikan sebagai tempat resepsi. Sedang tempat ijab kabul, Gus Reyhan memintanya untuk dilaksanakan di masjid pesantren. Benar-benar, mungkin ini adalah pernikahan termegah oleh anak Bu Fatimah.

Ternyata ibu tiga anak itu memiliki selera yang begitu tinggi untuk sekedar pernikahan putranya.

Hanya tinggal beberapa persiapan saja. Beberapa hari ini juga Pak Akhmad memilih untuk menginap di pesantren, mungkin hendak membantu persiapan. Atau hanya sekadar ingin mengobati rindunya pada Sahira.

"Ra!" Suara lembut itu terlontar. Menyebut nama sang gadis, membuat sang empu terlonjak sebab melamun.

Sahira memutar pandangan menatap ayahnya yang kini tampak berdiri menjulang di belakangnya. Menatap wajah Sahira dengan mata tajam namun begitu lembut dipandang.

Pria paruh baya itu duduk disamping putrinya. Turut mengikuti padangan putrinya. Menatap halaman yang maha luas dengan hamparan rumput hijaunya.

"Kamu ngapain disini sendirian?" Satu pertanyaan lolos teruntuk sang putri.

"Gak papa kok, Yah. Rara cuma cari udara segar aja. Rasanya udah berhari-hari disini, Rara masih suka kangen sama udara pesantren." Sahira berujar tanpa mengubah pandangannya sedikitpun.

"Kamu ini, oh ya. Ayah hari ini pulang ke rumah kamu baik-baik disini oke!"

Gadis itu tampak tercengang lalu menatap tajam kearah ayahnya. Meminta jawaban atas ungkapannya. Kenapa secara tiba-tiba pria itu akan pulang? Apa sebenarnya yang telah terjadi dirumahnya? Kenapa ia baru memberitahukan masalah penting ini sekarang?

"Kok gak bilang dari kemarin-kemarin? Kok mendadak banget si, Yah?" Pak Akhmad dihujani begitu banyak pertanyaan dari sang putri. Membuatnya menggeleng kepala pelan, putrinya mulai cerewet lagi sekarang.

"Sebenarnya, ayah masih mau disini bantu-bantu persiapan nikahan kamu. Tapi besok ayah ada jadwal operasi. Dan itu penting sayang, ayah gak bisa tinggalin gitu aja," terang Pak Akhmad.

Sahira tampak memajukan bibir merahnya. Sepertinya ia benar-benar tak ingin kehilangan ayahnya untuk saat ini. Apalagi bisa dibilang ini adalah saat-saat terakhirnya. Sebab, setelah menikah nanti ia pasti akan sangat jarang mengunjungi ayahnya. Orang yang bertahun-tahun merawatnya.

"Yaudah! Nanti berangkat jam berapa?" Entahlah secara tiba-tiba kesedihannya berubah ia baru saja meraih lengan ayahnya dan berkata semanis mungkin. Sekarang ia tampak lebih seperti anak-anak yang merengek meminta permen kapas.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang