"Rara ... !" Seorang gadis berlari sekuat tenaga menghampiri Sahira lalu memeluknya dengan erat.
Sahira kaget bukan main. Siapa lagi kalau bukan Mita sahabatnya sejak kecil. Setelah lama berpisah kini mereka kembali dipertemukan, tentu menjadi kebahagiaan tersendiri bukan.
"Rara, gua kangen ...!" teriaknya masih dalam pelukan.
Sahira menutup telinga. "Bisa gak? Gak usah teriak-teriak. Telingaku masih sehat, Mita ...," marahnya namun masih terkesan lembut.
Mita hanya cengengesan lalu meminta maaf pada Sahira. Ia juga lebih mengeratkan lagi pelukannya pada Sahira. Setelahnya mereka duduk bersama di bangku besi itu.
"Serius, gua kangen ... banget sama, Lu. Lagian, lama banget sih gak pulang-pulang, gak kangen apa sama gua?" cerocos Mita.
"Kangen? Gak percaya tuh aku," decak Sahira. Mita menatap wajah Sahira dengan alis yang ia taut kan, lalu tangannya menyentuh kening sahabat kecilnya bermaksud mengecek suhu tubuh Sahira.
"Masih sehat kan? Ya kangen lah. Udah setahun juga kita gak ketemu," balasnya dengan nada sedikit meninggi. Karena kesal dengan pernyataan Sahira barusan.
"Kangen dari mana? Ditelpon gak diangkat, gak pernah kasih kabar. Yang ada juga tiap hari liat story WhatsApp, isinya pacarmu semua."
"Ya-ya maaf, Mbak. Kan lagi sibuk," bela Mita memanyunkan bibirnya sambil mengedipkan matanya berkali-kali. Sahira hanya tertawa kecil melihat tingkah kawannya itu.
"Cerita dong, Ra. Pengalaman Lu pas lagi di pesantren," pinta Mita dengan mata yang berbinar-binar memohon.
Dengan hembusan nafas kesal karena Mita jarang sekali memberi kabar kepada Sahira. Ia mulai menceritakan semua kejadian dan pengalamannya.
Sahira menceritakan semuanya mulai dari kawan-kawan barunya. Yang super baik bahkan sangat menyayanginya. Hingga Gus Reyhan yang bermaksud mengkhitbah-nya.
"Seriusan? Anak kyai disana nembak kamu?" sela Mita saat Sahira menceritakan Gus Reyhan padanya.
"Bukan nembak Mita," tipal Sahira.
"Sama aja kali. Yaudah lanjut lagi ceritanya, aku masih penasaran," ucap Mita.
Perlahan tapi pasti Sahira memulai kembali ceritanya pada Mita. Mita yang mendengar hanya bisa mengangguk paham. Sambil sesekali melontarkan pertanyaan ditengah cerita Sahira.
Raut kebahagian Sahira semakin bertambah saat berdekatan dengan Mita. Pertemuan mereka ini membuatnya sangat bahagia.
Bukan hanya membahas tentang pesantren dan pengalaman Sahira. Mita juga turut membahas banyak hal mengenainya. Terlebih kekasihnya yang akan melamarnya sebertar lagi.
"Gak nyangka gua. Seorang Sahira yang selama ini diam dan gak suka sama laki-laki. Pulang-pulang dari pesantren mau dilamar aja," cerocos Mita sambil bergaya seperti seorang yang tengah ber-tausiyah.
"Aku masih normal mit. Siapa bilang aku gak suka laki-laki? Kalau emang gak suka ngapain juga aku terima lamarannya," timpal Sahira.
Inilah mereka jika sudah bersama, bertengkar, berdebat sudah menjadi bumbu didalam persahabatan mereka. Apalagi saat sedang bercerita. Tidak akan ada satu rahasia saja yang terlewat.
"Terus rencana nikah kapan?"
"Belum tau. Masih nunggu keluarga Bu Fatimah datang ke rumah, baru bisa ditentukan," jawab Sahira. Mita kembali menautkan kedua alisnya lalu menatap sahira dan memengangi pundaknya.
"Semoga lancar ya Sayang," ucapnya lalu mendaratkan ciuman di pipi kanan Sahira. Sahira hanya melonggo melihat perlakuan temannya itu.
"Apaan sih? Main nyosor aja. Pipi ku mahal tau." Mita hanya cengengesan melihat Sahira mengelap bekas ciumannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
Lãng mạnDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...