Pak Akhmad memutuskan untuk mengantar Sahira sore nanti karena pagi ini ia sedang ada tugas di rumah sakit.
Sebelum Pak Akhmad berangkat, Sahira sudah menyiapkan kotak makan lengkap dengan isinya. Lalu diberikannya kepada sang ayah, sebagai bekal. Setelah kotak makan berpindah tangan. Pak Akhmad berpamitan untuk segera berangkat. Begitupun Sahira, ia berpamitan hendak pergi bersama Mita hari ini.
"Yaudah, boleh. Tapi hati-hati, jangan pulang di atas waktu asar. Nanti terlambat lagi ke pesantrennya," ucap Pak Akhmad mengiyakan.
"Siap, Bos!" balas Sahira memberi hormat. Pak Akhmad tersenyum lalu mengelus pucuk kepala putrinya, yang tidak tertutup kerudung itu.
Pak Akhmad berangkat dan Sahira segera bersiap untuk pergi bersama Mita. Ia merasa bersyukur masih memiliki waktu bersama Mita meskipun hanya setengah hari.
••••••••••••••••••
"Kenapa sih, masih betah aja disana? Mending, Lu, ikut kerja sama gua aja deh, Ra. Daripada kejadian kayak kemaren, kan Om Akhmad juga yang susah," ucap Mita. Sahira hanya berdehem menanggapi ucapan Mita.
"Lu kagak takut apa kalau mak lampir itu gangguin Lu, sampe kaya kemaren lagi, hah?" Mita semakin meninggikan suaranya, membuat orang-orang disekitarnya menatap Mita aneh.
Mereka kini sedang makan bersama di salah satu kafe favorit mereka sejak kecil. Dengan ice cream sebagai teman. Sahira memilih ice cream coklat sedangkan Mita memilih ice cream susu.
"Dengerin ya Mita sayang. Gak selamanya manusia bakalan berbuat jahat terus. Pasti suatu saat ada sisi baiknya, kok. Lagian aku nggak akan keluar dari pesantren itu sebelum dua tahun, oke," jawab Sahira dengan pembawaan lembutnya.
Andai ia tahu kalau orang yang sudah menyakitinya masih menaruh dendam padanya. Sahira ini memang baik apa terlalu baik sih? Sampai membedakan orang jahat saja susah. Semua orang saja dibilang baik.
"Yaudah---dah terserah, Lu. Gua mah cuma ngingetin, tapi nanti kalau ada apa-apa jangan lupa calling gua, biar gua gasak sekalian tuh cewek sok kecantikan."
"Udah ah, ngomong apaan sih."
Mereka berduapun melanjutkan acara makannya. Sembari terus mengobrol membahas masalah Rumi yang melakukan hal buruk itu pada Sahira. Sepertinya Mita sangat marah dan dendam dengan perlakuan Rumi.
"Heran aku sama cewek yang sok kecantikan itu. Temen ku, sebaik ini kok diracuni. Kenapa gak dia aja sih yang minum racun itu. Kan gak afdol kalau Rara ku yang cantik ini me--"
"Hus...." potong Sahira. "Emang kamu mau aku mati, hah?" Mita hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Sahira.
Selesai membayar makanan pada kasir. Sahira dan Mita segera pergi dari sana dan memilih untuk jalan-jalan sejenak menikmati udara siang di taman.
•••••••••••••••••
Ba'da Ashar tepatnya pukul 16:30 Pak Akhmad dan Sahira berangkat menuju pesantren. Perjalanan menuju pesantren benar menghening, hanya menyisakan deru mobil dan suara AC yang terdengar samar-samar.
Gadis bermata sedikit sipit itu hanya asik memandang ke luar kaca. Menikmati keindahan kota Surabaya.
Sebelum berangkat Sahira sudah menyiapkan kue pisang kesukaan Bu Fatimah. Ia sengaja membuatnya khusus untuk bu nyai kesayanganya itu.
Baru beberapa bulan mengenal Bu Fatimah Sahira sudah merasa nyaman dekat dengannya. Sosok Bu Fatimah yang hampir mirip dengan Bu Aisyah--- ibunda Sahira. Yang membuat Sahira merasa benar-benar nyaman. Rasanya terpisah sebentar dengan Bu Fatimah, sudah seperti terpisah lama dengan bundanya.
"Ra!" panggil Pak Akhmad memecahkan keheningan diantaranya.
"Nggeh, Yah. Wonten nopo?"
"Nanti kalau kamu ada apa-apa, kabarin ayah, ya. Ayah tidak mau terjadi sesuatu lagi sama kamu. Atau kamu mau pindah pesantren aja? Biar tidak terjadi hal yang sama lagi." Sahira membulatkan matanya mendengar tawaran sang ayah yang ingin memindahkannya ke pesantren lain.
"Gak, Yah. Rara mau di pesantren ini aja, lagian Rara udah nyaman kok."
"Alhamdulilah kalau begitu. Tapi ingat, kalau ada apa-apa kabarin ayah langsung, oke." Sahira mengangguk mengiyakan.
••••••••••••••••••
Beberapa saat berada dalam perjalanan, akhirnya Pak Akhmad dan Sahira sampai. Sahira keluar dari mobil dengan senyuman manisnya. Rasa rindu dengan aroma pesantren kini sudah terbayar.
Mereka sampai di pesantren tepat saat ba'da Magrib. Sebelumnya mereka memutuskan untuk salat Magrib di masjid yang mereka temui saat dalam perjalanan. Pak Akhmad dan Sahira berjalan menuju rumah Bu Fatimah. Lalu mengetuk pintu rumahnya, sembari mengucap senyum.
Tak lama sosok Bu Fatimah didapati membukakan pintu. Guratan kebahagian terpancar di wajah Bu Fatimah, saat melihat sosok Sahira dibalik pintu. Sosok gadis mungil dengan kulit putihnya itu menyungging senyum termanisnya melihat wajah Bu fatimah.
"Sahira, Mas Akhmad. Monggo silahkan masuk!" Bu Fatimah mempersilahkan keduanya untuk masuk.
Sahira dan Pak Akhmad pun melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu duduk di sofa ruang tamu. Tak lama Kyai Khalid juga keluar dari kamar lalu ikut duduk bersama di ruang tamu. Mereka sedikit berbincang-bincang. Sembari menikmati jus jeruk dan camilan yang dibuatkan Mbok Minah.
"Sepindah maleh, kulo nyuwun ngapunten nggeh, untuk kejadian kemarin. Saya benar-benar tidak menyangka, dengan kelakuan santri saya," ucap Kyai Khalid meminta maaf atas kejadian yang tak ia inginkan itu.
"Nggeh, mboten nopo-nopo, Lid," jawab Pak Akhmad.
Mereka pun melanjutkan membahas obrolan lain. Sahira juga tampak asik mengobrol dengan Bu Fatimah.
Sosok pemuda berpostur tubuh tinggi itu datang, masuk ke kediaman dengan iringan salam. Membuat semua mata mengarah pada keberadaannya. Termasuk Sahira.
Gus Reyhan pun menghampiri Bu Fatimah untuk mencium tangan, begitupun selanjutnya kepada Kyai Khalid dan Pak Akhmad. Lalu ia juga turut duduk bersama, atas permintaan Bu Fatimah.
"Mad, kenalkan ini Reyhan. Putraku yang ke-dua, dia baru pulang dari Mesir," ucap Kyai Khalid memperkenalkan Gus Reyhan.
Pak Akhmad mengangguk."Ganteng banget putramu ini, Lid," puji Pak Akhmad, dan Gus Reyhan hanya tersenyum menanggapinya.
"Nah Reyhan, kenalkan ini Sahira. Putri tunggalnya Pak Akhmad," sambung Bu Fatimah memperkenalkan gadis dua puluh tahun yang tengah duduk manis disampingnya.
Netra Gus Reyhan pun mengarah pada gadis yang dimaksud. Lalu ia mengangkat kedua tangan diatas dada, memberi salam khas pria dan wanita yang bukan mahram. Matanya memandang kamar gadis dengan balutan hijab merah muda itu. Seperti sedang berpikir keras. Bukankah dia gadis yang saya tolong kemarin? Hatinya bergumam.
Gus Reyhan memanglah pria yang menolong Sahira kemarin. Tapi Sahira sama sekali tidak tahu. Yang ia ingat hanya kemeja biru yang digunakan pria penolongnya.
Setelah berbincang cukup lama suara azan pun tiba. Semua orang bersiap untuk melaksanakan salat Isya berjamaah.
••••••••••••••••••
"Ayah pamit dulu, kamu jaga diri. Ingat kalau ada apa-apa kabarin ayah," ucap Pak Akhmad lalu mengecup kening Sahira.
"Ayah, hati-hati pulangnya. Pak Badrun juga, bawa mobilnya pelan-pelan, pastikan ayah pulangnya selamat, oke." Begitulah petuah Sahira untuk sang ayah dan sopirnya.
"Siap, Non!"
Mobil Avanza putih itu perlahan meninggalkan halaman pesantren. Sahira merasa sedih berjauhan dengan ayahnya lagi. Namun kali ini berbeda, kini ia sudah dekat dengan Bu Fatimah jadi ia tak lagi merasa takut.
🍁Sepindah maleh : Sekali lagi
🍁Nyuwun ngapunten : Minta maafHeppy reading 😘
•••
•
•
•
•
•••
Awali kegiatan mu dengan bacaan basmalah 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
RomanceDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...