Libur tahunan sudah tiba. Inilah saat dimana semua santriwan dan santriwati berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing. Melepas rindu yang telah lama terpendam.
Halaman pesantren sudah dipenuhi para orang tua wali yang hendak menjemput putra-putrinya. Begitu banyak pelukan yang berhamburan disana.
Libur panjang dibuka setelah seminggu yang lalu acara Akhirusanah selesai dilaksanakan. Betapa terasanya kesedihan seminggu yang lalu. Dimana pengelola pesantren harus melepas santriwan dan santriwati-nya, setelah tiga tahun mengabdi di pesantren ini.
Sama halnya para santri yang hendak pulang untuk melepas rindu pada kediamannya. Sahira dan semua kawannya pun bersiap untuk sama-sama kembali ke tempat berteduhnya. Keluarga mereka juga sudah menunggu.
"Pasti aku bakalan kangen kalian. Kalian sehat-sehat ya, jangan lupa sering telpon aku. Sering-sering kasi kabar oke," ucap Rumi pada teman sekamarnya. Lalu mereka saling bertukar pelukan.
Semenjak berita Gus Reyhan melamar Sahira didengar oleh Rumi. Kini Rumi menjadi lebih baik pada Sahira dan ketiga kawannya. Niat awalnya mendekati Sahira karena menginginkan Gus Reffan kini berubah menjadi niat baik yang tulus untuk berteman dengan Sahira.
"Aku pasti bakalan kangen juga sama kalian. Kalian juga jaga kesehatan. Kita kan ketemu masih lama lagi," kata Sahira.
Mereka kini sedang berada di halaman rumah Bu Fatimah.
Mobil orang tua Sarah, Vivin, Putri, Rumi, Alisa dan Wina sudah terparkir manis. Mereka ber-enam sudah siap untuk pergi.
"Kalian hati-hati, kalau sudah sampai telpon oke," ucap Sahira dengan lambaian tangannya.
"Dah ...," balas mereka bersamaan, lalu sama-sama masuk ke mobil masing-masing.
Tak terasa air mata mereka mengalir membasahi pipi. Perlahan mobil berbeda type itu pergi meninggalkan halaman, satu-persatu.
Kini hanya tersisa kenangan yang pernah mereka lukis di pesantren ini. Pohon talok itu, menjadi saksi dimana mereka sering mencari udara segar bersama. Taman mawar itu, tempat pertama Sahira bersama dengan Sarah.
Satu bulan mungkin bukan waktu yang lama. Tetapi jika harus berpisah dengan kawan-kawannya rasanya sebulan sudah seperti setahun bagi mereka.
"Ra ...!" Seseorang menepuk pundak Sahira. Membuyarkan lamunan gadis berkerudung merah muda itu. Perlahan ia palingan wajah menghadap wanita separuh baya, laku mencium tangannya. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatimah.
"Yuk, Masuk. Ayah kamu sudah didalam dari tadi," ajak Bu Fatimah. Sahira mengangguk lalu membuntuti langkah calon mertuanya.
"Assalamualaikum!" ucapnya lalu turut duduk di samping Pak Akhmad. Ruang tamu Bu Fatimah ini tak begitu ramai hanya ada Sahira, Pak Akhmad, Bu Fatimah dan Kyai Khalid.
"Jangan nangis dong, nanti juga kalau liburan habis, kamu bisa ketemu Reyhan lagi," goda Pak Akhmad membuat Sahira membelalakkan mata.
"Ayah ih ...," rengek Sahira. Bu Fatimah dan Kyai Khalid hanya bisa tertawa kecil.
Sebuah langkah menghentikan tawa mereka. Langkah mungil itu mendekat kearah Sahira, siapa lagi kalau bukan Gus Naufal. Dengan erat ia memeluk Sahira dengan sedikit air mata.
"Mbak mau pulang, ya? Naufal pasti kangen deh sama Mbak Lala. Mbak Lala cepet balik ya, atau Naufal ikut Mbak saja. Naufal tidur dirumah Mbak," celoteh Naufal panjang lebar. Sahira menyungging senyum menghadapi pangeran kecilnya.
"Nanti mbak balik lagi kok, lagi pula gak lama kan. Naufal baik-baik disini jangan nakal sama nenek oke," bujuk Sahira. Gus Naufal hanya sedikit menganguk lalu kembali memeluk Sahira erat seperti tak ingin melepaskan.
Entah magnet apa yang ada pada Sahira hingga Naufal tak bisa jauh darinya.
"Kami pamit ya. Setelah ini saya ada jadwal operasi jadi gak bisa lama-lama," pamit pak Akhmad membuat guratan rasa kecewa pada wajah Bu Fatimah dan kyai Khalid.
"Naufal kapan-kapan main ke rumah Mbak Lala ya, sekalian ajak paman Reyhan," tambahnya sembari mencubit kecil pipi Naufal.
"Mbak Lala jaga kesehatan ya. Terus cepet balik lagi, nanti kalau lama-lama Naufal kangen gimana?" katanya memberi petuah.
"Kan disini ada nenek, kakek, ada ummi sama abi-nya Naufal juga. Mbak janji nanti mbak balik ke sininya cepet. Asalkan ... Naufal harus nurut sama nenek kalau ummi lagi nggak ada," pesan Sahira Naufal hanya menganguk lalu memberi pelukan terakhir untuk Sahira.
Pak Akhmad dan Sahira pun bergegas meninggalkan pesantren. Meninggalkan pula setiap kenangan yang ia lukis bersama kawan-kawannya. Meski ia akan kembali lagi bukan depan, tapi semua terasa asing sekarang.
Dari yang biasanya ia salat berjamaah dengan kawan-kawannya. Makan bersama di kantin. Hingga candaan sebelum tidur, ia pasti akan merindukan semua itu.
Namun rasa syukur tetap memenuhi hatinya. Sebulan ini ia akan bisa bersama-sama dengan ayahnya dan menghabiskan waktu bersama. Ia juga sangat merindukan sahabat kecilnya Mita.
Ia sangat ingin bertemu dan melepas semua rindunya. Karena selama beberapa bulan Mita tak pernah menghubunginya sekalipun. Ia merasa apakah mungkin Mita melupakannya?
••••••••••••••••••
Hawa dingin menyeruak dalam tubuhnya. Namun tertepis oleh kelembutan selimut. Ditambah aroma mawar yang sangat ia sukai membuatnya bangun dari setiap mimpi yang telah tertata.
Ia bangkit lalu duduk bersandar di ranjang kesayangannya. Matanya meneliti setiap titik yang ada di kamarnya. Semua masih lengkap. Tak ada satu pun yang berubah.
Setelah nyawanya terkumpul dengan langkah perlahan ia keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minuman.
"Sudah bangun, Non?" tanya seorang wanita separuh baya yang tak lain adalah pembantu di rumah Sahira.
"Iya, Mbok. Yang bawa saya ke kamar siapa, ya? Perasaan saya tadi masih di mobil," tanya Sahira, karena merasa heran saat terbangun ia sudah berada di atas ranjang.
"Oh ... tadi tuan yang angkat, Non," jawab Mbok Ijah, Sahira mengangguk lalu mengambil air dingin dari dalam kulkas.
Dalam perjalanan menuju rumah Sahira tertidur dalam mobil. Begitupun saat sampai Sahira terlihat begitu kelelahan. Karena tidak tega membangunkan putrinya. Dengan setiap tenaga yang ia punya pak Akhmad mengangkat Sahira sampai kamarnya.
Lalu membaringkan putrinya di atas ranjang. Sebelum pergi ke rumah sakit sebuah kecupan mendarat di kening Sahira.
"Ayah kemana sekarang?" tanya Sahira sembari meneguk air yang baru saja ia ambil.
"Kerumah sakit, Non. Katanya ada jadwal operasi. Ini mbok sudah siapkan makanan kesukaan, Non. Kata tuan Non disuruh makan duluan. Tidak usah menunggu tuan pulang," jelas mbok Ijah.
"Saya makan nanti saja mbok. Lagi pula saya gak lapar kok. Nanti saja kalau ayah pulang."
"Yasudah kalau begitu saya mau kebelakang. Mau beresin baju di belakang," pamit mbok Ijah lalu pergi meninggalkan Sahira sendiri di dapur.
Rasa bosan tiba-tiba hinggap ia pun pergi ke luar rumah untuk mencari udara segar. Ia memilih duduk di bangku yang dikelilingi banyak bunga mawar itu.
"Semuanya masih sama. Udah lama aku gak ngerawat bunga-bunga ini," gumamnya.
Ia bangkit dari duduk lalu menarik selang air dan menyalakannya. Beningnya air itu perlahan membasahi setiap bagian dari bunga kesayangannya.
Semua tampak lebih segar setelah Sahira menyiraminya. Tak lupa setelahnya, ia membersihkan daun-daun kering yang masih menempel pada batangnya.
"Nah kan lebih cantik," gumamnya sembari memetik sebuah mawar merah hati, lalu menghirup aroma wanginya. Rileks itulah yang dirasakan.
"Rara ...!"
Bersambung....
Heppy reading
••••
•
•
•
•
•••••
Awali Kegiatan Mu Dengan Bacaan Basmalah 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah
RomansDunia memang selalu seperti ini, menyuguhkan kebahagiaan dengan mudah, lalu memberikan luka yang teramat dalam hingga membuat seseorang tak mampu lagi untuk berharap. Mengharap pada dunia sama halnya seperti mengemis pada pelitnya manusia, sekuat ap...