Episode 2 - Kehidupan

4.7K 783 92
                                    

Daniel salah telah mengira Dayan akan berubah setelah disekolahkan di SMP Bomantara. Di hari penerimaan rapor keduanya, sama seperti semester lalu, Daniel hanya bisa tersenyum sungkan kepada kolega dan orang tua murid yang dikenalnya tiap kali mereka menanyakan bagaimana hasil belajar keponakannya. Orang-orang itu memamerkan prestasi anak-anak mereka dengan bangga dan gembira, sedangkan peringkat paralel dua ratus besar saja Dayan tidak masuk.

Keponakannya itu mendapat banyak sekali catatan merah dan hampir tidak naik kelas. Ia diloloskan ke kelas delapan setelah dewan guru merapatkannya—rapat perdana untuk menentukan nasib murid termalas dan terbandel yang pernah diterima di sekolah itu yang bahkan oleh segelintir guru diusulkan agar di-drop out saja. Dan Daniel tahu dari Pak Gun—kepala SMP Bomantara yang jadi berhubungan cukup dekat dengannya sejak pria itu harus ikut bersusah payah menangani kenakalan-kenakalan keponakannya—bahwa diskusi itu cukup alot.

Yang benar saja. Bukan hanya hampir tidak naik kelas. Dayan hampir dikeluarkan.

Guru-guru yang mengusulkan itu berpendapat Dayan mungkin berkebutuhan khusus, dan lebih baik ia dipindahkan saja ke sekolah lain yang mampu membantunya memenuhi 'kebutuhan' itu. Pak Gunlah yang meyakinkan mereka untuk tetap berusaha mempertahankan Dayan. "Kita cari tahu dulu masalah sebenarnya apa, jangan asal main DO aja. Mari coba satu semester lagi. Kalo sampai saat itu keadaannya belum membaik, mungkin sekolah ini memang bukan untuknya," begitu katanya.

Catatan-catatan merah yang Dayan dapat membuktikan bagaimana sebagian guru menduga ada sesuatu yang salah dari dirinya. Sudah bagus sekarang mau mengerjakan soal, tapi sebaiknya dikerjakan sampai selesai, tulis guru Matematika yang kemudian bercerita pada Daniel tentang lembaran-lembaran jawaban Dayan yang hanya diisi kata-kata yang mengulang pertanyaan uraian tanpa rumus apalagi hitungan. Tingkatkan kerja sama kelompok. Sejak semester 1 nama Dayan sering dicatut karena tidak pernah ikut mengerjakan tugas, tulis guru Bahasa Indonesia. Mana PR-PR-mu, Yan? Kok sampai mau naik kelas belum ada satu pun yang dikumpulkan? tulis guru Biologi. Sejak semester 1 hobi sekali begadang. Masalahnya tiap tidur di kelas saya kamu selalu mengorok. Ganggu anak-anak lain.

Materi tidak pernah dibaca, padahal semua jawaban kuis dan ujian ada di situ.

Buat apa bawa tas dan alat tulis ke sekolah kalau tidak pernah mencatat, Yan?

Dayan pasif sekali. Teman-temannya banyak yang protes.

"'Sebaiknya mulai semester depan kamu tidak usah bawa HP ke sekolah. Daripada saya nyita terus. Saya yang capek, Yan'," kata Daniel, membacakan catatan dari guru Sejarah Indonesia. Setelah itu ia menghela napas panjang dan mengusap-usap dahi.

Di seberang meja, Dayan bermain gim ponsel, mulutnya mengunyah apel.

Selama beberapa saat, ruang keluarga itu hanya berisik suara teriakan dan pertarungan dari ponsel Dayan.

"Kamu hampir nggak naik kelas, Yan," kata Daniel kemudian, tidak tahu harus berkata apa lagi. Bahkan ia tidak sanggup mengucapkan "Kamu hampir dikeluarkan".

"Dari dulu aku kayak gini. Nggak ada yang protes."

Daniel terdiam lagi, tangannya menempel di atas mulut dan matanya memandang catatan-catatan merah keponakannya penuh pertimbangan.

"Ada yang bikin kamu nggak nyaman di sekolah?" tanyanya setelah beberapa lama.

"Nggak ada."

"Jujur, Yan."

"Duduk terus, dengerin orang-orang tua ngoceh, nggak boleh makan di kelas."

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang