Episode 8 - Merekah

3.8K 657 152
                                    

Tidak ada hal lain yang ingin Dayan lakukan pagi ini selain kabur ke auditorium untuk meringkuk di ruang belakang panggung. Kepalanya senat-senut karena kurang tidur. Tadi malam Alvin menggojloknya berjam-jam agar menyelesaikan tiga tugas pengganti. Lalu mereka merayakan malam paling produktif Dayan (yang melelahkan) itu dengan bermain bilyar di sebuah pub Irlandia sampai pub tersebut tutup pukul tiga pagi. Zaky juga datang bersama beberapa anggota geng mereka. Suasana sempat agak canggung karena Dayan tahu mereka tahu mereka telah menyinggung perasaannya dua minggu lalu. Tetapi Zaky memesan bir untuk semua orang di situ dan menyapa Dayan dengan sebuah high five. Lalu suasana cair begitu saja, dan mereka semua bergiliran main bilyar dengan akrab.

Ah, bir. Dayan sempat minum beberapa tenggak juga. Ketimbang kurang tidur, sepertinya itu lebih menjelaskan sebab senat-senut kepalanya.

Jam demi jam mata pelajaran berlalu dengan kabur di depan matanya. Dayan tidak lagi memikirkan bagaimana ia bisa bertahan di kelas dengan kondisi sepusing dan sengantuk ini. Matanya merem-melek. Kesadarannya timbul-tenggelam. Seperempat jam sisa pelajaran Bahasa Indonesia digunakan Bu Zahra dan anak-anak kelas 8-A untuk tawar-menawar ketentuan tugas esai individu yang mesti dikumpulkan minggu depan. Dayan melewatkan diskusi itu karena akhirnya tertidur dengan kepala menindih lipatan tangan di atas meja.

Pulas sekali rasanya. Seluruh dunia menggelap seakan-akan seseorang menekan tombol power di kepala Dayan dan otaknya pun tidak lagi berfungsi meski masih bekerja, persis laptop yang dialihkan ke mode sleep.

Gaduh kaki meja yang mencelat dari lantailah yang beberapa menit kemudian menggugah Dayan. Teman-teman sekelasnya tidak lagi duduk di kursi masing-masing. Dedy, Dito, dan Iqbal main UNO Stacko. Cewek-cewek menggosip di lantai. Nina mengejar Tirta keliling ruangan sampai meja-meja tergeser dengan suara memekakkan; Tirta telah mencuri sosis berbentuk gurita kebanggaan Nina dari kotak bekal. Vivian dan Willy karaoke di depan papan tulis. Dari luar kelas, orang-orang berbicara dan tertawa dan bersahut-sahutan di koridor.

Oh, sudah jam istirahat.

Dayan sedang mengucek-ucek mata dan dengan kepala berdenyut memikirkan akan jajan di kafeteria sekarang atau mengumpulkan tugas-tugas penggantinya dulu saat tahu-tahu saja Rendi duduk di atas mejanya, mengulurkan tangan di depan wajahnya, dan memerintah, "Hape lu."

Dayan diam sebentar, otaknya bekerja agak lambat. "Hape?"

"Tau 'hape' nggak?" Rendi mengeluarkan ponselnya sendiri dari saku. "Hape, hape."

Dengan linglung, Dayan meraih ke dalam laci. Sebelum tangannya yang menggenggam ponsel benar-benar terangkat ke atas meja, Rendi telah merebut benda itu. "Passcode?"

"Buat apa, sih?"

"6969," gumam Rendi sambil mencoba kode itu, tapi gagal.

"Lo pikir otak gue sengeres apa? Sini, ah!" Dayan merebut ponselnya kembali dan menekan 2412 di layarnya. "Tuh, tanggal ulang tahun! Normal, kan?"

Rendi tidak menggubris. Direnggutnya lagi iPhone hitam itu untuk kemudian dibuka aplikasi LINE-nya. Alis Dayan terangkat saat cowok itu kemudian meliriknya tajam tanpa memalingkan wajah dari atas ponsel. "Apa, sih? Hape gue isinya kontak doang," ujarnya malas, terlalu loyo untuk meladeni huru-hara Rendi kali ini.

Tanpa berkata apa-apa, Rendi mengoperasikan sesuatu di ponsel Dayan. Setelah selesai, disorongkannya benda itu ke dada Dayan sambil berkata, "Nanti jam empat. Di rumah gua."

"Hah? Ngapain dah?"

"Pikir sendiri," tandas Rendi dengan penekanan di beberapa huruf. Kemudian cowok yang jangkungnya sama dengan Dayan itu turun dari meja dan berlalu menuju pintu.

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang