Episode 11 - Sisi Gelap

3.4K 566 105
                                    

Sudah lama Dayan menganggap perempuan adalah manusia yang dilahirkan dengan mulut lebih lebar dari kelihatannya. Anak-anak perempuan di sekolahnya dulu tidak pernah tidak gaduh; jerit-jerit di kelas, tertawa memekik-mekik, cerocosannya luar biasa panjang kalau sudah beradu mulut dengan anak laki-laki. Anak-anak perempuan di sekolahnya sekarang hobi bergunjing; segala hal mereka bicarakan baik secara tatap muka maupun daring. Tante Sophie di rumah bawel luar biasa; salah satu hobinya adalah mengomentari apa pun yang dipilih dan dilakukan Dayan. "Itu bener sepatu baru kamu? Warnanya putih semua gitu? Apa nggak norak, Yan?", "Kok parfum dari Tante nggak dipake-pake? Didn't I tell you it smells better than your cologne? Udahlah, buang aja cologne-mu! Nggak usah pake barang murahan lagi!", "Kan Tante udah taruh sun screen-nya di kamar. Masa nggak dipake? Biar nggak kebakar itu mukamu, Yan."

Guru-guru perempuan di sekolah lebih parah lagi. Mereka tidak hanya bawel dan tukang komentar, tetapi juga hobi mengatur. Dayan paling dongkol kalau sudah diperlakukan seperti tahanan. Semua alasannya untuk membantah biasanya ditentang, jadi Dayan belajar bahwa lebih baik berbuat onar sekalian agar guru-guru perempuan itu tahu ia tidak suka diatur-atur. Kelakuannya itu pernah membuat dua guru muda di SD-nya dulu menangis, tetapi Dayan tidak pernah merasa bersalah.

Perempuan itu merepotkan lagi berisik minta ampun. Begitu yang biasa diulang-ulang Zaky. Makanya Zaky gonta-ganti berhubungan singkat dengan berbagai perempuan untuk mencari mana yang mau mendampinginya sebagai orang yang lebih bisa diatur-atur daripada mengatur-ngatur.

Walau begitu, di usianya yang baru empat belas Dayan tidak punya cukup banyak pengalaman untuk mengetahui apa ada lebih banyak jenis perempuan dari yang sudah dikenalnya selama ini. Semua temannya laki-laki. Di rumah hanya ada Tante Sophie dan dua mbok-mbok asisten rumah tangga. Pacar Alvin yang bernama Tyas itu cukup kalem dan tidak banyak bicara, tetapi Dayan tidak pernah tahu lebih dari itu.

Tidak mengherankan bila kakak perempuan Rendi kemudian tampil sebagai sosok yang benar-benar baru dan berbeda.

Saat Bunga menghampirinya, jantung Dayan berdetak begitu antusias seakan-akan mereka belum pernah berdetak sebelumnya. Gadis itu berdiri di sampingnya seperti ia tadi berdiri di samping Alvin. Di belakang Bunga sepasang muda-mudi turut keluar ke balkon, lalu bercengkerama di ujung dan menyiram Dayan dengan sedikit perasaan lega. Dengan adanya mereka, ia jadi tidak merasa terlalu berdosa berdua-duaan saja dengan pacar orang sekaligus kakak ketua kelasnya di balkon ini.

"Nggak nyangka ketemu di sini," Bunga membuka pembicaraan, senyum simpulnya berpendar lebih terang dari lampu neon papan reklame Whose Dog. Dia mengenakan pakaian santai yang cenderung tertutup: jaket denim, kaus pas badan, celana jins panjang. Meski dalam keremangan, semua kain di kulitnya tetap tampak mahal dan bermerek.

"Malmingan, nih?" Dayan ikut berbasa-basi. Berharap senyum rikuhnya tidak membuatnya terlalu kelihatan salah tingkah.

"Lo juga?"

Dayan enggan membenarkan dengan gamblang, tetapi juga tahu percuma mengelak. Jadi ia hanya mengangkat bahu.

Bunga tidak mengkritisi seolah-olah wajar baginya mendapati seorang bocah SMP menghabiskan malam minggu di sebuah bar. Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskannya sambil memandang ke depan. Gumamnya, "Padahal udah di luar, tapi rasanya masih pengap, ya?"

Dayan mendengus geli. "This whole floor is a smoking area, Neng. What do you expect?"

Bunga tampak terkesan mendengar celetukan itu. Dia tertawa dengan cara yang memukau: tangan kiri terangkat di depan mulut, jari-jemari melengkung lentik, alis sedikit terangkat dan mata mengecil tapi berkilauan. Dayan bertanya apanya yang lucu. Dijawab, "Nggak. Lucu aja."

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang