Dayan tidak tahu bagaimana ia bisa tidur tadi malam. Bagaimana ia masih bisa-bisanya terlelap. Yang jelas, Dayan tidak memimpikan apa-apa dan tidurnya terasa sangat singkat, sampai-sampai Dayan merasa seperti tidak beristirahat sama sekali. Ia bangun dengan tubuh lelah, hati gelisah, dan otak yang langsung memutar kembali perkataan omnya semalam, bahwa ibunya sekarang ada di Jakarta.
"Om udah ngabarin mamamu sejak kamu pertama masuk IGD. Mamamu langsung ngasih tahu pengawasnya kalau kamu ... kritis di rumah sakit. Agak bohong memang, tapi mamamu nangisnya beneran sampai akhirnya pengawasnya luluh. Paspornya dikembalikan dan dia diizinkan pulang ke sini untuk nengok kamu. Semua orang merasa itu keajaiban. Tuhan selalu punya cara-Nya sendiri untuk menyatukan hamba-hamba-Nya. Mamamu langsung nyari penerbangan tercepat dan sampai di sini saat kamu udah dipindah ke kamar ini, lagi tidur pulas. Jadi apa yang kamu kira mimpi itu ... sebagiannya benar, Yan. Mamamu memang pernah nangis di sini saat kamu belum sepenuhnya sadar."
Setelah mendengar penjelasan itu, dengan mata membeliak Dayan bertanya, "Dia pakai syal warna merah?"
Daniel mengangguk.
Dayan langsung merasa setengah nyawanya melayang.
Mimpi itu memang mengharukan sekaligus menyakitkan, tetapi Dayan sama sekali tidak pernah berharap ada bagian dari mimpi itu yang nyata.
Tetapi tangis yang ia dengar rupanya nyata. Wanita bersyal merah itu nyata. Kehadiran ibunya di kamar ini nyata, begitu pula kepergiannya.
Daniel bilang, Liliana tidak akan pulang ke Prancis sebelum bisa berbicara dengan Dayan. Ini kesempatan yang telah diperjuangkannya selama satu dekade lebih, yang tidak akan disia-siakannya apa pun yang terjadi. Jadi selama Dayan diopname, Liliana menginap di sebuah hotel tidak jauh dari rumah sakit. Liliana tidak singgah ke rumah Daniel karena khawatir kehadirannya akan mengejutkan mbok-mbok ART yang sudah bekerja di rumah Daniel sejak Opa dan Oma masih hidup. Sophie beberapa kali mengunjungi dan menemaninya di hotel, dan Liliana masih saja menangis tiap memikirkan kemungkinan Dayan akan menolak kehadirannya.
"Kamu masih mau kan, Yan, ketemu sama mamamu?"
Hari ini, Dayan bangun kesiangan dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memikirkan pertanyaan itu. Ia tidak melakukannya sambil memandang ke luar jendela seperti hari-hari kemarin. Ia melakukannya sambil membuka-buka album foto yang telah ditinggalkan Daniel dan Sophie di kabinet samping ranjang tadi pagi.
Album foto itu berisi foto-foto lama yang diambil pada tahun '90-an. Ada Opa dan Oma yang masih hidup dan sehat, ada Daniel dan Sophie versi belia, juga ada potret keluarga lengkap dengan seorang wanita cantik bermata sipit yang berangkulan dengan seorang pria bule.
Walau begitu, ada satu foto yang Dayan pandangi terus seakan-akan segala hal di dalamnya menarik untuk diamati.
Foto itu bergambar seorang wanita yang tengah menggendong seorang bayi sambil tersenyum. Bayi itu berambut lebat, matanya merem dengan mulut sedikit terbuka, badannya dililit kain bedungan motif polkadot. Wanita yang menggendongnya berambut sepundak dengan potongan trendi tahun '90-an, matanya yang sipit membentuk bulan sabit. Senyum lebarnya bisa memberi tahu siapa pun yang melihat foto itu bahwa dia bahagia telah melahirkan seorang anak yang sehat. Anak lelaki yang dinamainya Andreas Dayan Wijaya.
Dayan membalik foto itu dan menemukan sebuah tulisan tangan berbahasa Prancis: "Moi et mon petit Andréas."
Foto-foto lain yang menarik perhatian Dayan hampir serupa; semua bergambar seorang wanita yang tersenyum bersama bayi kecilnya. Kadang ditemani pria necis yang Dayan kenali sebagai omnya sendiri, kadang disertai dua orang lansia yang Dayan kenali sebagai mendiang Opa dan Oma, kadang juga ... bersama seorang laki-laki berwajah sepenuhnya Eropa yang terlihat sepuluh tahun lebih muda dari pria yang ditemui Dayan di Bali. Mata laki-laki itu berwarna kelabu, seperti miliknya, tetapi lebih terang sehingga kadang-kadang terlihat keputihan seperti kristal saat terkena cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Episode Dayan
Teen FictionAndreas Dayan diterima menjadi salah satu siswa baru di SMP Bomantara. Segera ia memutuskan akan menjaga jarak dari semua orang. Anak-anak di sekolahnya begitu sama dengannya, tetapi ia begitu berbeda dari mereka. Ia tidak mau dirinya dikenal dan me...