Episode Epilog

3.5K 547 130
                                    

Dua tahun kemudian


Jam sekolah sudah berakhir. Peserta orientasi sudah bubar dari aula di lantai dua. Mereka kembali ke kelas masing-masing untuk berkemas dan bersiap pulang. Suasana tetap meriah dengan tawa dan celoteh karena banyak yang sudah saling mengenal sejak SMP. Anak-anak yang berasal dari sekolah di luar Sekolah Menengah Bomantara berusaha membaur dengan canggung atau menyendiri dengan raut lelah. Beberapa dari mereka selalu menatap gerombolan Dayan dengan sorot kagum sekaligus iri.

Ke mana pun Dayan pergi, kalau tidak sedang disuruh berkelompok dengan anak-anak dari kelas lain, Dayan selalu berkumpul bersama geng kecilnya. Adit memanfaatkan posisi istimewanya sebagai putra pendiri sekolah untuk mengatur agar Fantastic Five tetap sekelas. Mereka kini siswa kelas 10-1 di SMA Bomantara, dan masih sekompak dan sesolid dulu. Lingkaran persahabatan mereka bersinar terang tak tertembus, membuat para anak baru berharap bisa cepat-cepat punya teman dekat seperti mereka.

Para gadis memandang Dayan dengan cara yang sedikit ... berbeda. Tiap ia lewat, ada saja kepala-kepala yang menoleh ke arahnya secepat kilat. Ada saja pandangan berbinar dan senyum terkesima yang mengikuti ke mana pun ia melangkah. Dayan memang telah memperbaiki kebiasaannya merawat diri dan sudah lebih pandai menjaga penampilan, terima kasih pada desakan Tante Sophie dan upaya-upayanya untuk membantu Dayan mendapat kesempatan dan exposure sebagai model. Kalau dulu perhatian-perhatian seperti itu akan membuat Dayan merasa risi dan dikuliti, sekarang ia justru balas menoleh atau melirik ke arah cewek-cewek tertentu yang sekilas terlihat cantik. Mengira-ngira mana di antara mereka yang akan memburu kontaknya dan mengajaknya jalan akhir minggu nanti.

"Cowok-cowok kenapa pada tinggi-tinggi amat, sih? Serem, deh, lama-lama," celetuk Nina sambil memasukkan alat tulis ke tas. Ia tidak hanya menyindir Dayan, Rendi, Nawang, Adit, bahkan Tirta yang kini selalu membuatnya merasa dikelilingi pilar-pilar tinggi, tetapi juga cowok-cowok dari kelas lain dan angkatan senior. Gara-gara mereka, belum apa-apa dunia SMA sudah terlihat berbeda. Nina merasa kerdil, padahal ia dulu salah satu anak perempuan yang cukup tinggi. Ternyata di dunia SMA, 161 cm sama sekali tidak tinggi.

"Makanya puber jangan buru-buru. Sekarang saatnya hormon testosteron berjaya!" Rendi menyahut sambil mengepalkan tangan ke udara.

"Apa, sih! Lebay!" Nina manyun dan melengos sebal darinya. Dua tahun terakhir ini Rendi bertambah tinggi hingga hampir dua puluh senti, dan menurut Nina pertumbuhan itu turut mengubah sifatnya. Bukan sekali dua kali Nina terang-terangan mengeluh kalau Rendi sekarang jadi sok keren.

"Eh, tapi tadi ada yang cakep, Na. Liat nggak? Kakak yang ngatur-ngatur kamera, yang bolak-balik terus dari tempat kita," celetuk Astrid, mendistraksi Nina dari kekesalannya. Sepasang saudara kembar itu kemudian membicarakan si kakak ganteng sambil memekik-mekik gemas.

"Cowok aja yang dipikirin," ejek Dayan sambil menggulung jasnya dan memasukkan buntalan hitam itu ke tas, kebiasaan yang sampai kapan pun tidak berubah.

"Kayak lo nggak mikirin cewek terus aja. Nge-date ama siapa lu 'tar malem? Pasti beda orang sama yang kemaren," balas Nina pedas.

Dayan meringis. "Yang kemaren udah nge-block gue."

"Huuu! Dasar buaya!"

"Tadi kakak OSIS samping gue bisik-bisik gibahin Dayan," kata Nawang. "Mereka bilang Dayan cakep, tapi sayang mukanya Kristen banget. Mundur aja deh langsung."

"Pake kerudung mereka pasti mah," kata Rendi geli.

"Yoi. Yang atasan sama bawahannya panjang-panjang semua. Anak Rohis mungkin."

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang