Episode 10 - Harapan

3K 580 126
                                    

Di rumah Rendi kemarin, Nawang tidak sengaja menemukan kertas daftar tugas pengganti Dayan yang entah bagaimana bisa meloloskan diri dari tas. Tergeletak begitu saja seperti sampah di karpet, mungkin sebelumnya tersembul saat Dayan mengeluarkan laptop. Lalu tentu saja Nawang bertanya "Ini apa?" dan memicu terjadinya interogasi singkat. Dayan menampik setiap pertanyaan dan bersikeras menunjukkan kalau ia tidak mau membicarakan hal itu, tetapi kemudian Rendi berkata, "Udahlah. Kalo lu nggak mau jawab, gua aja yang jelasin."

"Emang lu tahu?" Dayan mendadak waswas, sebab Rendi mengatakan itu dengan tampang serius yang membuat Dayan tiba-tiba merasa mungkin saja Rendi sudah tahu, sebab dia ketua kelas. Ketua kelas kerap menghabiskan banyak waktu bersama guru-guru walau hanya untuk mengurus buku presensi. Besar kemungkinan Rendi dengar sesuatu dari mereka, sengaja atau tidak sengaja.

"Mau jawab sendiri apa gua yang jelasin?" Rendi balik bertanya. Sorot datar matanya dan raut lempengnya menggoyahkan Dayan. Bangke, dia beneran tahu sesuatu. Kenapa gue nggak pernah kepikiran sampe situ?

"Nggak apa-apalah, Yan. Mungkin gue bisa bantu ngerjain tugas-tugas entah apa ini. Matematika belum selesai, kan?" bujuk Nawang, ketulusan terpancar dari senyum hangatnya seolah-olah mengisyaratkan, "It's okay, dude. You can trust us."

Dayan takluk. Ia terpaksa menjelaskan maksud perkataan Pak Petra di kelas. Membocorkan salah satu rahasia terbesarnya, bahwa ia sedang dalam semacam masa percobaan di sekolah dan akan di-DO kalau gagal melalui masa percobaan itu. Selain memperbaiki tingkah laku, Dayan harus mengumpulkan tugas-tugas tambahan untuk mengamankan nilai. Tugas-tugas itulah yang tercatat dalam kertas yang ditemukan Nawang. Setelah menceritakan itu semua, Dayan kira empat orang di sekitarnya akan mengejek atau menertawainya, tetapi mereka menyimak seperti sedang berada dalam forum konferensi remaja yang membahas konflik Israel-Palestina. Keseriusan mereka membuat Dayan gugup.

Setelah itu, Rendi pun mengaku, "Gua udah tahu itu semua. Pak Gun nyuruh gua mata-matain elu."

"Hah?"

"Gua tahu tentang guru-guru yang secara khusus ngadain rapat cuma buat ngomongin masa depan lu di sekolah. Lu pikir kenapa hari pertama masuk dulu lu gua labrak?"

Dayan tidak mungkin lupa peristiwa meja digebrak itu. Rupanya Rendi sendiri menyebutnya aksi labrak, bukan sekadar gertak sambal karena kesal sekelas lagi dengan Dayan. Dayan tercengang. "Gue kira itu cuma karena lo—kalian semua—udah muak liat muka gue."

"Emang," kata Adit lugas. "Siapa yang nggak muak disusahin terus?"

Dayan meringis. "Thanks, Dit, atas kejujurannya." Ni anak diem mulu tapi sekalinya ngomong nyelekit amat, anjir.

"Setelah kalian berantem dan disidang di BK itu, Rendi beberapa kali dipanggil Bu Rianti. Berapa kali tuh, Ren? Tiga kali ada, ya? Disuruh ngepoin kalo-kalo lu ada 'kelainan'," Nawang mengucapkan kata terakhir sambil mengekspresikan tanda kutip dengan jari tangan. Dayan jadi ingat Om Daniel pun pernah mendadak berlaku seperti konselor untuk mencari tahu apa ia betulan "berkebutuhan khusus" seperti yang diprasangkakan beberapa guru. Orang-orang tua itu sungguh sok tahu.

"Gua bilang lu cuma males-malesan aja. Tapi Bu Rianti tetep ngerapatin itu. Katanya buat ngedatengin psikolog."

Ah .... Si Nona Psikolog cantik.

Dayan mengerjap-ngerjap, melongo, manggut-manggut. Peristiwa-peristiwa beberapa minggu terakhir terangkai secara kronologis dalam kepalanya dan tiba-tiba segalanya jadi masuk akal. "Trus karena alasan yang sama—mengawasi atau memantau gue atau apalah itu—gue jadi dimasukin ke kelompok ini. Am I correct?"

"Partly," Tirta yang menjawab, pipinya menggembung sebelah karena mengunyah nasi dan rendang. "Makanya kalo pembagian kelompok tugas tu jangan bolos. Malah enak-enakan tidur siang kayak anak TK."

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang