Episode 14 - Sakit Hati

2.8K 561 128
                                    

Langit agak mendung, tetapi sinar matahari sore tidak terhalangi. Cahaya oranye itu membasuh segala hal di sepanjang jalan yang Rendi lewati, kecuali pada bagian-bagian yang tertutupi bangunan tinggi dan pepohonan. Di Bogor hujan, kata ibunya. Asisten rumah tangga di rumah mereka absen dua hari karena flu berat. "Di jalan nanti ada apotek kan? Mampir beli vitamin, obat batuk, sama fever patch buat jaga-jaga. Uangmu masih ada, kan? Awas ya kalo Mama denger dipake beli Gundam lagi. Gundam terus, Gundam terus. Emang Gundam bisa dimakan?"

"Ma, aku terakhir beli Gundam udah dua bulan lalu—"

"Kakakmu juga diingetin terus. Kurangin aktivitas yang nggak perlu, jangan sampe kecapekan cuma gara-gara kebanyakan nongkrong. Nggak lucu! Masa sakit cuma gara-gara kebanyakan nongkrong."

"Iya, iyaaa ...." Rendi menyeberang jalan untuk berbelok ke kiri, meninggalkan kawasan pertokoan tempatnya membeli makan malam di salah satu warung beberapa menit lalu. Sekarang ia menyusuri trotoar di pinggir jalan raya menuju jembatan penyeberangan. "Iyaaa, aku makan sayur terus, kok! Ini juga abis beli tumis kangkung. Ya elah, Ma. Mama tanya aja Kak Bunga kalo nggak percaya. Kak Bunga juga—Ya masihlah, tapi kayaknya udah nggak seketat dulu, deh. Kak Bunga kan emang nggak gampang gemuk, nggak kayak Papa. Udahlah! Udah jam segini, kok. Hah? Siapa emang yang selama ini paling doyan McD? Papa dong yang dikasih tahu!"

Ibunya kemudian bercerita tentang upaya bodoh ayahnya memperbaiki modem yang justru menyebabkan modem itu tidak bisa menyala dua hari. "Ya akhirnya kita manggil teknisi juga, kan! Papamu itu sok canggih padahal otaknya ketinggalan di abad 18." Rendi tertawa mendengar itu. Ibunya gemar menceritakan hal-hal konyol yang terjadi di rumah Bogor tiap menelepon. Biasanya Rendi menyimak semuanya sampai ibunya capek bicara, tapi kali ini baru selesai satu cerita saja Rendi tiba-tiba bilang ia harus menyudahi pembicaraan.

Ia baru saja naik ke jembatan penyeberangan. Ada laki-laki yang tengah bersandar pada pagar besi jembatan, memandangi kesibukan jalan dengan raut melamun. Langkah Rendi perlahan-lahan melambat menyadari sosok itu tampak familier. Ia mengenali postur membungkuk itu dan rambut hitam kecokelatan tebal yang ujung-ujungnya bergoyang-goyang terembus semilir angin. Ransel Converse navy blue dan jaket hitamnya terlihat asing, tetapi setelah mendekat beberapa langkah Rendi tidak ragu lagi kalau orang itu adalah si pengganggu dari kelasnya. Profil samping wajah Dayan terlalu khas—mata menjorok, hidung lancip bertulang tinggi, pipi tirus.

"Galau, Bos?"

Saat Dayan menoleh, Rendi juga sedang bersandar pada pagar jembatan satu setengah meter darinya.

Raut muram yang beberapa detik lalu terlukis di wajah Dayan lekas ditimpa seulas senyum lebar. "Eeey, kesayangan gua," sapanya. Volume suaranya perlu agak dikeraskan agar tidak teredam bebunyian berisik dari jalan raya di bawah mereka. "Jodoh banget deh kita, ketemu di sini."

"Ngapain lu?"

"Mikirin lo, dong."

Rendi meneliti ekspresi Dayan sebentar. "Bukan mau lompat, kan?" selidiknya.

Dayan tergelak pendek, bersikap seolah-olah kecurigaan Rendi itu sesuatu yang ngawur. "Belom se-desperate itu gua. Dari mane lu?"

Rendi memakai sepatu lari, celana basket, dan jaket lusuh melar yang menutupi kaus hitam tanpa lengan di baliknya. Ia memegang plastik kresek putih yang tampak menggembung berisi barang-barang yang dibungkus dengan plastik bening. "Lari. Beli makan," jawab cowok itu sekenanya.

"Lari? Sampe sini? Jauh juga track lo."

"Lu? Dari mana ke mana?"

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang