Episode 4 - Sekolah

3.6K 667 89
                                    

Ada kebanggaan yang merekah di dada Dayan tiap ia mengenakan seragam futsal tim sekolahnya. Warnanya kalem; kombinasi merah marun dan hitam dengan detail-detail kecil berwarna oranye di sekitar pundak dan dada. Nomor punggungnya 09. Di antara tujuh anggota baru tahun lalu, ia mungkin satu-satunya yang berlatih dengan serius agar terseleksi ke dalam tim inti. Alasannya sederhana: Ia ingin punya lebih banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu di lapangan. Ada keterikatan emosional di antaranya dan lapangan futsal sekolah sejak Dayan pertama kali melihatnya di hari pertamanya menginjakkan kaki di sekolah ini. Menjadi bagian dari tim inti berarti mendapat jam-jam latihan yang lebih panjang, dan latihan yang lebih panjang berarti ada kesempatan untuk bermain-main di lapangan itu lebih lama.

Saat memikirkan betapa nyarisnya ia berpisah dari lapangan itu karena sekolah berencana mendepaknya, Dayan baru mengerti betapa seriusnya situasi ini. Nasihat panjang Alvin lengkap dengan banyolan-banyolan cabulnya kembali terngiang, dan tiba-tiba saja Dayan merasa ia tidak seharusnya membiarkan hidupnya terus-terusan berantakan. Mungkin seharusnya ia sedikit lebih berusaha secara akademis agar setidaknya posisinya sebagai murid tetap aman. Dan kalau posisinya sebagai murid tetap aman, posisinya sebagai pemain futsal pun tidak akan terancam.

Lagi pula—kalau apa yang Tante Sophie katakan kemarin itu benar—Liliana Janice sedang memperjuangkannya. Mungkin seharusnya Dayan juga memperjuangkan dirinya sendiri. Mungkin suatu saat nanti ia bisa bercerita kepada ibunya tentang seragam futsalnya, perjuangannya untuk lolos ke tim inti, keistimewaan lapangan futsal di sekolahnya dan bagaimana lapangan itu membuat Dayan merasa ia punya tempat spesial yang bisa didatanginya kapan saja. Mungkin ibunya akan bangga padanya. Mungkin untuk pertama kalinya Dayan akan tahu seperti rasanya menjadi kebanggaan.

Dayan berangkat ke sekolah dengan semua tekad dan harapan baru itu hari ini. Tetapi sesampainya di sekolah, untuk pertama kalinya Dayan mengenakan seragam futsalnya dengan perasaan malu.

*

"Lo tuh posturnya bagus, Yan," kata Ardian—kapten tim, cowok bongsor blasteran Jawa-Arab dari kelas 9-B—sambil berlagak mengamat-amati tubuh Dayan seperti seorang desainer menyanjung kemolekan modelnya. "Tinggi, proporsional, berisi tapi nggak buffy. Ideal pokoknya! Lo orang paling tepat untuk menjalankan tugas mulia ini, man!"

"Tugas mulia, tugas mulia! Bilang aja jadi badut!" tolak Dayan keras. Siapa yang sangka Ardian menyuruhnya memakai seragam tim untuk menjebaknya? "Kesepakatannya kemaren kan 'siapa yang paling nggak tahu malu, siapa yang paling sering ngelawak'. Ya udah bener, Robert aja yang maju! Kok tiba-tiba jadi gue!"

"Eh, sapa suruh nggak dateng rapat mendadak tadi? Kesepakatannya berubah! Kriterianya ganti," Robert menyahut. "Sekarang kita butuh orang yang gampang menarik perhatian. Supaya orang-orang pada mikir anak futsal kita tuh keren-keren! Perbaikan imej, man! Nggak usah sok-sok rendah hati deh lo nolak-nolak segala! Ngeselin tau nggak?"

"Lah, kok lu yang kesel? Gua dong kesel! Dateng-dateng disuruh jadi badut—"

"Oh jadi kalo gua yang maju, gua yang badut?"

"Iya! Emang badut kan lo?!"

"Kurang ajar! Elo itu badut sekolah! Lo pikir gua nggak tahu reputasi lo kayak apa?!"

"Maksud lo apa?!"

"HEEEEH!" Ardian merentangkan tangan lebar-lebar di tengah kedua adik kelasnya. "Kalian berdua aja yang adu jotos di panggung gimana?!"

Dayan melengos sementara Robert memelototinya dengan hidung kembang kempis. Dedy merangkul Dayan tapi Dayan menepisnya, sementara pundak Robert dipijat-pijat anggota klub lain yang berusaha menyabar-nyabarkannya. Ini yang paling tidak Dayan suka dari klub Futsal: beberapa anggotanya menyebalkan.

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang