Episode 9 - Saudara

3.4K 614 158
                                    

Berniat akan menyelesaikan setidaknya satu tugas di perpustakaan jauh lebih mudah daripada berusaha mengerjakan tugas itu tanpa berakhir ketiduran. Ruangan yang hening ... hawa sejuk dari AC ... sudut tersembunyi di balik rak-rak tinggi .... Kamar tidur Dayan di ruang belakang panggung auditorium mendadak kalah nyaman. Kalau saja sejak awal tahu kenikmatan terlelap di perpustakaan, mungkin ia tidak akan menghindari ruangan itu selama dua semester hanya karena ia berprasangka tempat ini hanya pantas didatangi anak-anak kutu buku dan budak-budak ngambis. Dayan bukan anak yang senang membaca, lebih-lebih ambisius belajar.

Dayan bangun setelah digugah staf perpustakaan. Kepalanya bangkit dari meja dengan cara menjijikkan—pipinya melekat pada lembaran kertas buku catatan, dilem saliva yang mengucur dari sudut bibirnya selama ia tertidur.

"Ganteng-ganteng celemotan iler. Kayak bayi aja," sindir staf perpustakaan—biasa dipanggil Mbak Wani—sambil menyodorkan segenggam tisu dan selembar amplop. "Tau nggak kenapa tisu itu selalu masuk inventarisasi perpustakaan? Ya buat disediakan ke anak-anak jorok kayak kamu ini. Nih, ini dari penggemar kamu. Sana ke kelas sekarang. Udah bel."

"Makasih, Mbak," gumam Dayan setengah sadar, kemudian menerima dua barang itu, mengemasi buku-bukunya sambil menguap, dan beranjak kembali ke kelas. Dalam perjalanan ia mampir ke wastafel untuk membasuh muka, juga memeriksa amplop yang diberikan padanya. Amplop itu terbuat dari kertas tebal berkualitas, wangi, warnanya rose quartz, tampak vintage dan elegan secara keseluruhan terlebih bukaannya disegel wax seal merah bermotif bunga mawar. Jangan-jangan letter of acceptance dari Hogwarts, pikir Dayan, tiba-tiba merasa sedikit antusias.

Pundaknya melunglai begitu membaca isi surat di dalam amplop itu.

Dear Kak Dayan, Kakak jangan pacaran sama cowok, ya? Kakak pacaran sama aku aja, ya? Namaku Davina, Kak. Kelas 7-E. Aku suka Kak Dayan karena Kak Dayan itu cowok paling ganteng di sekolah. Aku cantik kok, Kak. Bales ya, Kak. Instagram: davinxxana.

Dayan menghela napas panjang. Menyesal telah berharap.

Ruang kelas hanya menyenangkan kalau Dayan berada di dalamnya untuk tertawa dan bersenda gurau, bukan mencatat teori-teori Fisika apalagi menjawab pertanyaan guru. Ia bosan duduk-duduk saja, tidak boleh berbicara dan main gim, apalagi makan. Pikirannya jadi berkeliaran mencari kerjaan dan berujung memutar hal-hal yang memusingkan. Bertanya-tanya apa kegiatan dan pekerjaan ibunya di Prancis, siapa gerangan ayahnya, kapan Tante Sophie akan membocorkan informasi lain tentang keluarganya, sudah seberapa jauh kemajuan Dayan mengerjakan tugas-tugas pengganti untuk mempertahankan status kesiswaannya di sekolah ini, apa yang akan terjadi kalau Dayan menceritakan drama psycho-romansa yang disaksikannya tempo hari kepada Rendi ....

Dayan menghela napas, tidak sengaja terlalu keras. Dedy di barisan sebelahnya berbisik heran, "Nape lu?"

Dayan tersenyum hambar. "Nggak. Bosen aja."

"Sama. Ngantuk, anjir."

Dayan menghela napas lagi, kali ini tanpa suara.

Saking jenuhnya, saat segumpal bola kertas dilempar mengenai pipinya, bukannya kesal Dayan justru tersenyum girang. Siapa ini yang mengajaknya bermain di tengah pelajaran? Dayan membuka bola kertas itu dan membaca tulisan acak-acakan di dalamnya. "'Tar jam 4 rumah gw lg."

Dayan membalas pesan itu dengan tulisan yang tak kalah acak-acakannya. Ia menyambitkannya ke kepala Rendi saat guru Fisika sedang tertunduk mengetik pesan di ponsel.

"Woy! Kampret," umpat Rendi, sedikit terlalu keras di kelas yang hening. Beberapa anak tertawa mendengarnya. Buru-buru Rendi mendesis dan berlagak seakan-akan ia menegur anak tidak sopan itu—berpura-pura anak itu bukan dirinya sendiri.

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang