Episode 6 - Rendi

3.5K 658 173
                                    

Tahun pertamanya di SMP tidak berjalan dengan mudah. Semua pelanggaran dan hukuman yang pernah Dayan dapat bukan tidak berarti apa-apa untuknya. Walau tidak perlu berkelahi dengan siapa-siapa lagi, sesuatu dalam diri Dayan menggerakkannya untuk selalu menciptakan huru-hara, selalu membikin keonaran, selalu melanggar tata tertib. Kadang ia membenci dirinya sendiri untuk itu, tetapi sering kali Dayan tidak peduli sama sekali. Di SMP Bomantara, Dayan punya lebih banyak ruang untuk bernapas. Ia tidak perlu lagi khawatir akan dihina atau dikompor-kompori sampai berkelahi. Ia tidak perlu memandang orang-orang dengan sorot intimidatif yang penuh benci sebagai bentuk mekanisme perlindungan diri. Ia bebas menggunakan waktunya untuk melakukan apa saja. Maka itulah yang ia lakukan sepanjang kelas 7. Menyia-nyiakan waktu dan berbuat semau-maunya, yang bagi banyak orang—terutama teman-teman sekelas dan para guru—berarti masalah, masalah, dan masalah.

Alvin bilang itu karakter bawaan dari SD-nya yang karut-marut. "Lu enam tahun sekolah di SD yang mendidik lu jadi preman cilik, man. Sementara SMP lu itu sekolahnya anak baek-baek. Ya pasti culture shock-lah! Gini, ya. Kalo di SD lu dulu lu hanyalah salah satu bocah berandalan di antara bocah-bocah lain yang lebih berandalan, di sekolah lu yang sekarang lu satu-satunya bocah berandalan di antara bocah-bocah lain yang semuanya alim-alim. Dan seandainya lu jadi masuk di SMP Kristen yang lu andai-andaikan banget dulu itu, gua yakin situasinya nggak bakal jauh beda, karena SMP Kristen itu sama aja kayak SMP Bomantara: sekolahnya anak baek-baek!

"Tapi bukan berarti lu bakal jadi preman cilik selamanya, man. Kalo lu mau beradaptasi di lingkungan baru ini, lu juga bisa kok jadi anak baek-baek kek anak-anak sekolah lu itu."

Saat itu Dayan jijik membayangkan dirinya menjadi "anak baek-baek". Tapi sekarang ia memikirkannya lagi dan perasaan jijik itu sudah tidak ada. Membuatnya bingung.

Sebenarnya ia harus menjadi anak yang seperti apa, sih?

Ia dulu nyaman menjadi dirinya yang individualis dan tertutup di sekolah. Berteman hanya dengan Dedy yang juga satu klub dengannya dan Thomas—mantan anggota kelas 7-A yang dipindah ke kelas lain tapi masih kerap bertemu dengan Dayan di acara-acara kerohanian. Namun akhir-akhir ini, Dayan kerap menemukan dirinya membayangkan sosok yang berbeda. Ia membayangkan sosok Dayan yang tidak menyusahkan siapa-siapa, Dayan yang berteman dengan lebih banyak orang, Dayan yang tidak lagi mencemaskan siapa dan di mana ibunya, Dayan yang bisa dibanggakan keluarga alih-alih terancam drop out, dan Dayan yang menjalani kehidupan normal seperti anak-anak lain di sekolah.

Gagasan-gagasan itu begitu memenuhi pikiran Dayan sampai ia sering kali tak sadar telah melamunkannya di sembarang tempat.

Tahu-tahu punggungnya kena sambit bola sepak.

"Udah, Yan, bengongnya?" sahut Pak Darma dari tengah lapangan futsal.

"Nggak mau item tuh, Pak! Cemen!" teriak Rendi, disambut gelak-tawa dari cowok-cowok kelas 8-A.

Dayan meninggalkan bangku di bawah pohon dengan langkah diseret. Matahari pukul delapan pagi bersinar terik. Kulit pucat Dayan tidak akan menghitam kalau terbakar terlalu lama, tetapi memerah. Amat merah.

"Sini kamu! Masuk kelompokmu. Yang mana hayo kelompokmu?"

Pak Darma adalah guru olahraga yang kumis dan raut galaknya seperti Pak Raden, tetapi omelan-omelannya biasa disampaikan dengan nada dan gaya jenaka yang membuat para murid menyukainya alih-alih segan padanya. Pria paruh baya itu telah membagi cowok-cowok kelas 8-A menjadi dua kelompok untuk bertanding futsal. Masing-masing kelompok berkumpul di belakang satu orang yang telah dipilih menjadi semacam ketua. Dayan memang tidak menyimak proses para ketua bergantian memilih anggota kelompok, tetapi amat mudah mengetahui ia tidak akan dipilih oleh siapa.

Episode DayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang