23. Sebuah Obrolan

139 19 10
                                    

Sore menjelang malam udara dingin, setelah mandi aku membuat secangkir cokelat panas. Mengaduk-aduk pelan, sambil menatap kosong ke arah televisi.

Menyesap sedikit cokelat yang berada di genggamanku seraya menyandarkan punggungku pada sofa empuk ruang keluarga.

Kakiku diselonjorkan supaya nyaman, lalu tangan bebasku yang lain memegang pelipis dan memijatnya sedikit.

Televisi tetap menayangkan adegan disney yang barusan aku ganti secara acak.

"Apaan tuh enak banget nonton tv."

Suara Bang Doyoung mengubah atensiku dari televisi. Dasar, pengganggu.

"Berisik ah, sekali-kali dong bersantai di rumah."

"Bersantai-santai palalo jungkir? tuh jemuran belum lo lempitin."

"Nanti ah kalo gak besok."

"Vel nih dengerin, pekerjaan ada baiknya dikerjain dulu baru abistu kamu boleh bersantai-santai, kan enak tuh gak ada beban lagi."
"Lagian lo cewe, penerus mamah."

Aku berdeham kemudian menyeruput cokelat panasku lagi.

Biar saja Bang Doyoung terus berbicara sendiri. Mengomel, mengomel, dan mengomel, itu kebiasaannya. Sempat berpikir, Bang Doyoung itu benar lelaki bukan sih?

Maaf-maaf aku gak mau kualat.

Ponselku berdering, membuat aku segera beranjak dari ruangan ini. Bang Doyoung hanya menggeleng melihatku.

Melihat siapa si penelepon, aku hanya mampu menghela napas pelan lalu tanpa pikir panjang segera menggeser icon hijau pada layar.

"Eve."

Di ujung sana dia sudah menyebut namaku, bahkan tanpa ada ucapan salam.

"Gak ada adab. Salam kek."

"Iya sorry, udah kelewat juga."

Aku mengembuskan napas pelan. Oke terserah deh.

"Kenapa nelepon?"

"Gak boleh?"

"Bukan gitu atuh ih, maksudnya niat lo nelepon mau apa?

"Lo di rumah gak?"

Bukannya menjawab, orang itu malah melayangkan sebuah pertanyaan kepadaku.

"Di rumah."

Bahkan akan selalu di rumah, memang aku mau ke mana kan?

"Sibuk gak?"

"Kalo dibilang sibuk sih enggak, cuma sok sibuk doang paling."

Tawa kecil terdengar dari lelaki di seberang sana.

"Kok ketawa sih?"

"Keliatan banget nolepnya."

"Eh sumpah kalo gak ditelepon udah gue pukul lo."

Tawa renyah dari arah sana perlahan luntur, "jahat banget lo."

"Jadi? Kenapa nanya gitu?"

"Keluar sebentar bisa lah?"

"Kenapa gitu?"

"Emang gue harus ngomong dengan detail alasan gue ngajak lo keluar sebentar ya?"

[✓] One Last Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang