18. Berjuta-juta Rasa

316 73 34
                                    

Dalam semburat kuning dari sang surya yang akan hilang. Aku terduduk di salah satu bangku yang mengarah pada sungai kecil di depan sana.

Suara gemericik air terdengar sangat jelas ditemani dengan suara indah nyanyian dari beberapa ekor burung.

Aku menatap lamat-lamat beberapa ikan yang terlihat menampakkan dirinya ke permukaan air. Ikan itu berlompat-lompat dan seakan berkejar-kejaran dengan ikan lainnya.

Sang surya tampaknya sudah hampir tak terlihat. Langit mulai menjingga dengan perasaanku juga yang kian menenang.

Ditendangnya kerikil kecil di depan ku. Suasana senja kali ini menenangkan namun tidak juga.

Beberapa orang di trotoar sana mempercepat langkah kakinya, ada juga yang sengaja memandang indahnya semburat cahaya yang seakan menyelam ke dalam air sungai.

Ponselku bergetar yang langsung aku buka. Beberapa pesan dari Bang Doyoung menghiasi layar bening dari genggamanku.

Aku tersenyum tipis. Tanpa ada rasa ingin membalasnya, aku mematikan data selulerku. Sepertinya waktu untuk diriku sendiri sangat dibutuhkan.

Mataku menutup secara perlahan bersamaan dengan bangku yang terasa diduduki oleh orang lain.

"Hai?" Sapanya.

Aku menoleh, netraku membola saat itu juga. Kenapa dia bisa ada di sini?

"A-apa?"

"Indah banget ya natap senja?" Ujarnya.

Dehaman kecil hanya mampu ku ungkapkan untuk merespon pertanyaannya.

"Apalagi kalo nikmatinnya sama orang yang tepat," lanjutnya.

Aku menopang dagu, kenapa atmosfer di sekitarku tiba-tiba berubah?

"Kenapa belum pulang?" Tanyanya.

"Kamu sendiri?"

Dia terkekeh, "Ada medan magnet yang narik aku hingga sampai sini,"

Aku mengangguk singkat, jangan lupa jika hatiku masih belum baik.

"Kenapa gak langsung pulang, Vel?"

"Gapapa, butuh waktu sendiri,"

"Jadi aku ganggu?"

"Mungkin enggak,"

"Kenapa harus ada kata mungkin?" Tanyanya.

"Kenapa diciptakan kata mungkin kalo gak akan dipake?"

Dia menghembuskan napasnya pelan, "Tapi kata itu mendefinisikan ketidakpastian, Vel,"

"Ya karena itu yang aku rasain, gimana?"

Lelaki itu tersenyum tipis, "Okay,"

Hening.

Hingga akhirnya deheman kecil terdengar dari arah lelaki di sebelahku. "Mataharinya udah mau pergi dari bentangan langit,"
"Dia seakan mengucapkan sampai jumpa untuk kepergiannya yang sementara,"

[✓] One Last Time Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang