White Room

505 87 7
                                    

Satu hal yang kemudian langsung ia lakukan.

Mencari tempat ngecas di koridor rumah sakit.

Tangannya memangku ponselnya, menunggu benda itu menyala.

Sudah pukul lima pagi.

Sudah hari minggu.

Ia bersyukur ini weekend, ia tidak bisa membayangkan dirinya kalau dia harus tetap sekolah setelah ini semua terjadi.

Tangannya langsung menelusuri kontak di ponselnya. Mencari kontak Mama nya.

"Mama?"

"Halo? Jihyo? Kamu dimana? Mama lihat kamu gaada di kamar"

"Aku lagi di rumah sakit"

"Siapa yang sakit? Kamu? Kenapa? Sakit apa? Sekarang lagi di rumah sakit mana? Mama—"

"Temanku yang sedang sakit. Aku belum sempat pulang karena harus bantu temanku. Aku akan pulang sesegera mungkin kalau temanku sudah baikan. Maaf Mama.."

"Beritahu Mama kamu dirumah sakit mana. Mama akan kesana segera"

Jihyo menjelaskan dimana dirinya sekarang.

Mama nya bersi keras untuk segera menghampirinya dan dia tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah tidak pulang semalaman, tentu Mama nya khawatir dan dia tidak bisa menyalahkan Mamanya atas hal itu.

Dia menghela nafasnya.

Pesta pertama yang membuatnya merasa memang sudah seharusnya ia diam dirumah dan tidak mengikuti acara-acara seperti itu.

"Jihyo"

Sebuah suara membuatnya menoleh ke si pemilik suara tersebut.

"Hai"

Orang itu duduk di sampingnya.

Kemudian menatapnya.

"Yuta dan Haechan baik-baik saja. Luka Yuta tidak berat, hanya lebam karena benda tumpul di perutnya tapi dia tidak perlu operasi. Tapi, Yuta tetap perlu mendapatkan rawat inap" jelas Johnny, "Haechan.. belum ada kabar, tapi kata dokter pendarahannya cukup banyak, tapi untung ada yang membalutnya karena kalau tidak kemungkinan dia tidak bisa diselamatkan. Jadi, terima kasih banyak, Jihyo"

Lelaki itu memandang Jihyo dengan cemas, "Kamu sendiri, tidak apa-apa, kan?"

Jihyo menganggukkan kepalanya, ia rasa ia tidak apa-apa jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Dia hanya merasa .. takut? Namun, ia mencoba untuk mengalahkan rasa takutnya itu dan terus beranggapan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Kamu sendiri"

Lelaki itu juga mengangguk, "Aku tidak apa-apa"

Namun, Jihyo menujukan pandangannya kearah tubuh lelaki berbalut kemeja yang sudah berantakan itu.

Memeriksanya untuk memastikan bahwa dia tidak apa-apa.

Mungkin, dia memang terlihat tidak apa-apa.

"Apakah mereka tidak memukul tengkukmu?" tanya Jihyo, memastikan. Ia ingat saat itu Johnny dipilih sebagai orang yang dieksekusi warga desa, kemudian ia juga masih ingat ketika Johnny berteriak dan terdengar kesakitan.

Lelaki itu mengernyit, namun ia tetap menjawab pertanyaan Jihyo.

"Iya, pelan"

"B-boleh ku lihat?"

Lelaki itu hanya menatapnya.

"Maksudku, aku hanya ingin memastikan—"

Kemudian ia menundukkan tubuhnya agar tengkuknya berada di garis pandang Jihyo.

SIMONS SAYS: PLAY THE GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang