Chapter 9

13.5K 1.7K 159
                                    

Rasyid bisa merasakan aura meja makan yang mencekam. Padahal lampu terang benderang. Di luar sana tidak ada petir menggelegar. Angin pun bertiup tenang. Langit malam cerah-cerah saja. Tapi dua orang di meja makan sukses membekukan suasana. Rasyid benar-benar clueless dengan perang dingin kakak-beradik ini.

Mungkin kapan-kapan, kalau timingnya tepat, dia akan bertanya ke Adel.

Tahu-tahu Mama mencondongkan tubuhnya ke arahnya, berbisik. "Ini yang Mama rasakan selama ini, Ras. Bertahanlah. Beberapa menit lagi."

Seketika dia bangga dengan Mama mertuanya. Bisa tahan hidup dengan dua beruang kutub ini. Yang satu bungkam dengan elegan. Sementara yang satu diam-diam mengomel di dalam hati. Dua minggu menikah, Rasyid entah kenapa tahu sifat istrinya yang ini. Adel pasti sedang membenak banyak hal.

Adel itu seperti dua sisi mata uang. Dia mudah blak-blakan untuk hal tertentu. Seakan yang diucapkan mulutnya tidak melewati proses berpikir. Tapi ada saat-saat di mana Rasyid melihat perempuan itu penuh pertimbangan dan memilih cara mudah: apa-apa diiyakan.

Makan malam menyeramkan itu berakhir lebih cepat dari dugaan Rasyid. Adel yang tak repot-repot menyembunyikan wajah sebalnya, minta pulang. Mama sempat cemberut, memeluk Bintang lama sekali sebelum membiarkan mereka pulang.

"Sebenarnya kita bisa nginap di rumah kamu. Kamar kamu kan segede lapangan bola. Muatlah buat bertiga."

"Bukan itu masalahnya." Sejak masuk ke mobil, Adel membuang wajah ke jendela. "Tahu sendirilah. Nggak usah dijelasin."

"Aku cuma sebatas tahu kamu dan Mbak Tere nggak dekat. Udah."

"Ribet jelasinnya."

"Tadi aku merinding lho, Del, selama makan." Rasyid melempar candaan yang sebenarnya fakta itu. "Berasa yang normal tuh cuma aku, Mama sama Bintang. Sementara kamu dan Mbak Tere saling lempar tatapan laser. Ngeri."

Adel akhirnya menoleh. "Ras."

"Ya?"

Tatapan mereka bertemu. Segera saja Adel patahkan kalimat Rasyid. "Lelucon kamu nggak lucu."

Rasyid tertohok. Kemudian memilih diam. Dia mungkin sudah keterlaluan. Adel sedang dalam suasana hati yang buruk. Semakin buruk dengan candaan Rasyid tadi.

"Maaf kalau candaanku keterlaluan ya."

Adel menatap nanar jendela. Lirih. "Aku juga minta maaf. Bikin kamu bingung."

Bukannya dia tidak memercayai lelaki ini. Tapi membuka cerita miliknya dengan Mbak Tere bukanlah hal mudah. Adel tidak mau Rasyid menatapnya dengan berbeda. Adel tidak suka dikasihani.

***

Ini percobaan yang kelima. Semoga saja kali ini kulitnya tidak ikut jatuh ke dalam—

Terlambat. Begitu Adel memecahkan telur, jangankan secuil kulit, semuanya langsung jatuh ke teflon. Adel ingin menangis rasanya. Kenapa urusan membuat telur ceplok bisa sedramatis ini sih? Apa perlu dia menghabiskan dua kilo telur demi berlatih memecahkan telur tanpa mengikutkan kulitnya?

Iya, Rasyid tidak akan marah-marah. Tapi kasihan para ayam yang sudah menetaskan telur-telur ini begitu tahu kalau Adel memperlakukannya dengan sangat tidak adil. Mereka akan murka.

Mematikan kompor, Adel meraih ponsel di meja dan menghubungi seseorang.

"Apaan?"

"Cara mecahin telur tanpa kulitnya ikut masuk ke dalam teflon gimana?"

"Ini masih terlalu pagi buat gue untuk dengar pertanyaan sangat berbobot ini."

"Gue tanya beneran. Cepet. Keburu suami gue bangun."

Wedding in Chaos [15+] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang