Langit pekat. Balkon yang dingin. Asbak yang penuh. Kepulan asap yang menyesakkan. Entah batang rokok yang ke berapa. Dia belum ingin berhenti. Belum ingin beranjak meski tubuhnya mulai kebas oleh dingin.
Karena wajah terluka itu masih membayang jelas.
Sulit disingkirkan.
Setiap tarikan napas hanya menimbulkan sesak yang lain. Adel memang tidak menangis di depannya. Perempuan itu punya pertahanan yang luar biasa. Tapi, kenapa bisa wajah tanpa ekspresi yang Adel tampilkan justru mengatakan segalanya?
Adel kecewa padanya. Tentu saja. Dan mungkin, juga benci. Dia masih ingat ketika bentakannya membawa gurat yang berbeda. Satu ekspresi yang kemudian Rasyid sadari sebagai luka dan dia sesali.
Lalu, kenapa hatinya sesakit ini demi melihat wajah terluka yang hingga detik ini tetap membayang?
Ponsel yang tergeletak di meja, bergetar. Sesaat menariknya dari lamun. Tapi tangannya tak juga meraih benda pipih itu. Hanya membiarkan. Juga dengan panggilan kedua dan ketiga. Disusul dengan sebuah pesan—yang tetap diabaikan.
Rasyid melepas pandangan dari ponsel dan kembali ke gedung bermandi cahaya yang berdiri kukuh sejauh mata memandang. Asap kembali berembus dari celah bibir. Dingin semakin menggigit. Semilir angin yang membuat matanya kian pedih.
Hingga pagi datang terlalu cepat. Membuat Rasyid mau tak mau beranjak dari sana. Menyudahi sisa malam yang dia habiskan untuk memeluk semua rasa sakit. Dia hadapi sebagai bentuk hukuman. Yang rasanya tidak cukup untuk mengenyahkan penyesalan.
Denting lift membuatnya tersadar. Saat melangkah keluar, dia sadar salah lantai. Seharusnya dia turun di basemen. Tapi urung kembali ke lift saat ujung matanya menangkap langkah mungil itu.
Sedikit berlari, Rasyid menghampiri Kiara yang melangkah riang dengan satu tangan digandeng sang mama.
"Om Asyid!"
Rasyid nyengir. Gagal memberi kejutan karena Kiara lebih dulu menoleh.
"Princess mau berangkat sekolah ya?" Rasyid merunduk, membawa tubuh Kiara untuk dia gendong.
"Iya dong!"
Rasyid menciumi pipi Kiara. "Om bangga deh sama Kiara."
"Kenapa?" Mata bulatnya berbinar antusias. Kedua tangan imutnya melingkar di leher Rasyid.
Rasyid menoleh ke Salma, sebelum kembali ke Kiara. "Udah berani naik bus."
"Om nanti bisa jemput?" Pertanyaan itu spontan.
Salma yang menjawab. "Om Rasyid sibuk, Kiara. Mama aja yang jemput ya."
Tapi Kiara menggeleng.
"Om bisa jemput kok."
Kiara mengecup pipi Rasyid. Lalu berbisik sesuatu yang membuat Rasyid tersenyum.
"Gitu ya. Main rahasia-rahasiaan."
Kiara melempar tatapan jenaka ke mamanya. Sementara Rasyid menurunkan Kiara ketika bus berwarna kuning itu merapat di dekat gerbang.
Gadis kecil itu melambai heboh, menaiki bus. Masih melambai saat bus perlahan melaju.
"Ras—"
"Oh, itu Kiara minta jemput karena dia pengin makan es krim yang kemarin kita nggak jadi mampir karena kamu ngomelin dia."
"Bukan itu."
"Hm?"
"Kamu nggak apa-apa?"
"Aku baik-baik aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding in Chaos [15+] ✓
Roman d'amour[Angst-comedy] CERITA LENGKAP ✅ Ini tentang Rasyid yang terlalu tabah dan Adelia yang terlalu bebal. Menikah dengan asas simbiosis mutualisme, membuat mereka masuk ke dalam fase hidup yang jungkir balik. Banyak hal membuat langkah mereka terhenti d...