Chapter 33

19.6K 2.5K 824
                                    

KEJUTAN! ♥

Aku baru selesaiin chapter ini barusan, heuheu.

Chapter ini panjang. Semoga suka.

Tenang, kalian gak akan ambyar 😋

Kalau mau jejeritan di kolom komen, boleh. WKWK.

————————

Tere mengusap kasar air mata yang mengalir di pipi. Dia tidak perlu menangis. Hatinya sudah lama mati. Kenapa sekarang dia harus kalah oleh air mata? Sialnya, wajah kecewa itu membayang jelas. Pipi kanan yang memerah. Sorot yang berubah banyak karena dirinya.

Perjalanan pulang selalu tak mudah bagi Tere. Kali ini, apa pun itu namanya, semakin menghimpit dadanya. Jalan menuju pulang kian terasa lama dan menyiksa. Sementara, dia tidak punya tujuan lain. Ketika hari gelap dan larut, dia terpaksa pulang ke bangunan angkuh ini.

"Re, kamu kenapa?" Mama terbangun, berdiri dari sofa begitu melihat wajah putrinya sembap. Seketika cemas. Dia memang terbiasa melihat Tere yang pulang larut, tapi tidak dalam keadaan begini.

Tere sudah mencoba tidak menimbulkan suara, tapi Mama tetap terbangun. Mempercepat langkah, tapi Mama tetap menyusul. Di tengah tangga, akhirnya Mama berhasil meraih satu tangan anak sulungnya.

Alih-alih mendesak untuk dijawab, Mama bertanya hal lain. "Udah makan malam, Re?"

Tere menghela napas. Tidak berbalik. Menunduk. "Udah."

"Belum, ya?"

"Udah."

"Mama panasin lauk ya?"

Tidak dijawab.

"Mama temenin kamu makan."

Tere menarik tangan dari genggaman Mama. "Aku capek. Mau tidur."

"Ya udah, tapi besok pagi sarapan sama-sama ya."

Mengangguk samar, Tere melanjutkan langkah. Tapi kakinya justru membawanya masuk ke kamar yang bukan miliknya. Melainkan milik Adel. Satu tangannya menyentuh dinding. Jemarinya menyusur permukaan dinding seiring dengan langkahnya yang melangkah lebih dalam.

Dulu, entah persis kapan, Adel pernah memasang rangkaian foto dalam tiga utas tali. Dihubungkan dari satu sisi ke sisi yang lain. Foto keluarga. Mama, Papa, dirinya dan Adel. Jika malam, lampu hias yang dililitkan pada tali akan menyala. Berpendar indah. Dengan semringah, Adel menunjukkan pada Papa-Mama dan juga dirinya.

Namun, karena emosi yang membutakan hati, Tere sengaja merusaknya di kemudian hari. Dia tidak suka ada hal manis yang mengusik hatinya. Dia tidak mau hatinya perlahan luluh dan menerima keluarga ini.

Namun, Adel yang selalu pandai mengatur emosi, hanya diam dan menangis. Tidak meneriakinya.

Adel yang suka mengalah.

Adel yang mendapat perhatian lebih dari banyak orang.

Adel yang selalu membuatnya iri. Merasa tidak diinginkan. Merasa disingkirkan.

Bahkan, ketika Adel memutuskan menikah dan meninggalkan rumah ini, perasaan jahat masih bercokol di hati Tere. Hingga satu fakta membuatnya senang.

Adel tidak bahagia dengan pernikahannya.

Berhenti di depan jendela, Tere tersenyum. Kontras dengan air mata yang kembali luruh di pipi. Bukankah dia senang? Kenapa dia menangis? Untuk apa?

Bukankah selama ini Adel terlalu banyak mengambil apa-apa yang menjadi milik Tere? Merebut satu-satunya yang dia miliki di dunia—

Wedding in Chaos [15+] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang