"Berhenti melototin aku, Adel."
Mereka makan malam dalam diam. Rasyid yang duluan memecah sunyi. Setelah tidak tahan ditatap secara intens oleh Adel. Bukan risi, tapi lebih ke 'apa yang sedang dipikirkan perempuan ini'.
"Yah, ketahuan."
Rasyid tersenyum tipis. Dia sadar sudah tiga hari ini membuat Adel cemas. Meski perempuan itu diam dan tidak bertanya kenapa dia murung. Perempuan itu juga tidak berusaha untuk menghibur—hal yang tidak bisa diharapkan dari seorang Adel.
"Kenapa senyum?"
Secepat kilat, Rasyid menarik sudut bibir, kemudian berdeham. Mengalihkan. Menunjuk barang dagangan Adel di ruang tengah. "Mau packing jam berapa?"
Langsung ditolak. "Nggak usah bantu."
Tapi, Rasyid suka. Mengemas barang ternyata menyenangkan. Meski sebenarnya Rasyid lebih banyak merusuh. Melihat wajah Adel yang serius bekerja membuat perempuan itu terlihat lebih manusiawi di mata Rasyid.
Rasyid meletakkan sendok. Menyandar di punggung kursi. Dia sudah selesai makan. Gantian menatap istrinya yang makan sambil menggulir layar ponsel. Dia tahu perempuan ini juga memendam sesuatu. Sama seperti dirinya.
Sesuatu yang kemudian menjadi alasan kenapa mereka menikah. Adel bersedia menikah dengannya bukan sesederhana ingin keluar dari rumah karena berkonflik dengan kakaknya. Lebih dari itu. Adel menolak menjelaskan lebih detail dan Rasyid anggap itu bagian yang tidak bisa perempuan itu bagi dengannya.
Sedangkan, bagi dirinya, pernikahan ini menyelamatkannya. Alih-alih mengeluh menghadapi sikap menyebalkan Adel, dia bersyukur atas banyak hal. Meski pernikahan ini diisi oleh dua orang yang sama-sama membawa beban hati.
Mereka terlalu pintar menjaga rahasia masing-masing.
Selesai memandangi Adel yang tetap sibuk, Rasyid berdiri lebih dulu. Membawa piringnya ke westafel. Mencucinya sekalian. Membiarkan Adel tetap di meja makan. Dia kemudian beranjak ke balkon. Membawa serta sebungkus rokok.
Weekend hampir berakhir. Besok dia mulai tenggelam bersama pekerjaan. Pelarian yang tepat. Tapi sebelum mencari pengalihan, dia tetap akan mengunjungi sumber sesak di dada.
Sudah empat tahun. Tapi baginya yang tetap mengenang, terasa amat menyakitkan. Mungkin bukan hanya Rasyid. Dia tidak tahu, barangkali Ayah dan Bunda sedang menelan tangis bersama luka di hati. Empat tahun jelas bukan apa-apa bagi orang lain. Tapi bagi mereka lebih dari sekadar hitungan bulan yang menjadi tahun.
Terdengar suara pintu digeser. Kali ini Rasyid tidak menoleh. Berusaha menormalkan wajah sendunya. Dia bergeser, memberi tempat Adel di sampingnya. Perempuan itu kemudian berdiri di sana. Sama seperti kemarin malam.
"Aku sebenarnya sebel," katanya tiba-tiba.
Secara otomatis Rasyid mengingat mundur, apakah ada sikapnya yang membuat Adel sebal. Apakah karena menonton film kemarin? Tapi masa iya dia masih sebal? Ini Adel lho, yang apa-apa dibawa slow.
"Kenapa?" Rasyid menebak. Masih enggan menatap lawan bicara. "Kamu mulai nggak tahan sama asap rokok?"
"Kamu lagi mikirin apa sih?" Adel menghadap ke arah Rasyid—yang masih menatap ke arah lain seraya mengembuskan asap rokok dari sela bibir.
Rasyid masih diam. Membuat Adel terpaksa menebak. "Galau mikirin cara buat balikan sama Salma?"
Sedetik. Dua detik. Rasyid terbatuk. Dia lupa. Sungguh lupa kalau selain absurd, Adel selalu blak-blakan. Kalimat yang keluar dari mulutnya tidak pernah disaring. Dan mungkin filternya sudah rusak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding in Chaos [15+] ✓
Romance[Angst-comedy] CERITA LENGKAP ✅ Ini tentang Rasyid yang terlalu tabah dan Adelia yang terlalu bebal. Menikah dengan asas simbiosis mutualisme, membuat mereka masuk ke dalam fase hidup yang jungkir balik. Banyak hal membuat langkah mereka terhenti d...