Chapter 4

17.1K 1.9K 139
                                    

GLUDAK!

"Astagfirullah, Adel!"

Ambar nyaris jantungan saat membuka pintu kulkas dan satu semangka utuh jatuh begitu saja ke lantai. Berdebam saking kerasnya benturan.

"Mama, ih, santai aja buka kulkasnya. Jangan pake tenaga kuli." Adel mendekat. Menggotong semangka dan mengembalikannya ke dalam kulkas. Cukup kepayahan. Semangka itu sekitar enam kilo kalau Adel tidak salah ingat.

Di sisi kulkas, Ambar kehabisan kata-kata. Dia tahu anak bungsunya memang ajaib. Tapi bagian memenuhi kulkas dengan buah begini tidak ada dalam dugaannya. Iya, Adel memang pernah membuat dapurnya kebakaran. Tapi sejak saat itu, praktis Ambar memasang garis polisi tak kasat mata. Adel yang sadar diri memang tak berani lagi memegang kompor.

Tapi memenuhi kulkas dengan buah begini, siapa yang mengajari?!

"Kamu cuma ngasih makan Rasyid buah? Setiap hari?!"

Dibalas santai. "Ya nggak dong, Ma."

"Terus?!" Ambar tidak bisa mengontrol tekanan suaranya. Anak ini memang keterlaluan. Cukup ibunya yang dibuat histeris setiap hari, selama dua puluh tujuh tahun. Sekarang, nampaknya Rasyid yang harus mengemban tugas berat itu. Lelaki yang malang.

"Sekarang apa-apa serba canggih, Mama." Adel menutup pintu kulkas teramat pelan demi menjaga posisi buah tetap aman. "Sambil merem, klik, klik, selesai. Nggak ada setengah jam, udah diantar."

"Mau sampai kapan pesan terus?"

Adel mengambilkan mamanya segelas air putih hangat dari dispenser. Lalu kembali ke sofa. Tempat semua kertas-kertas resi berhamburan, termasuk setengahnya adalah barang dagangan yang hendak dia packing.

Ambar nyaris terpleset plastik saat dia berniat menyusul Adel duduk di sofa. Jantungan jilid dua. Tapi Adel boro-boro peduli. Ngeh saja tidak kalau mamanya nyaris terjengkang.

"Kamu betah di sini, Del?" Ambar akhirnya bisa duduk di sofa kosong. Menghela napas lega. Berhasil melewati halang-rintang barang yang melintang memenuhi karpet.

Ah, tidak, tidak. Dia salah pertanyaan. Anak ini jelas nyaman saja tinggal di mana pun asal tidak ada Tere.

Maka, sebelum dijawab, Ambar meralat pertanyaannya. "Rasyid betah jadi suami kamu?"

"Betah, Ma. Aku kan apa-apa dibikin enak."

Ambar terbatuk. "Maksud Mama bukan yang itu."

"Oh, yang lain." Adel sedang double-check alamat pengiriman. "Mama nggak usah khawatir. Aku pintar milih suami. Rasyid baek banget jadi orang. Sabarnya melebihi Mama, berlapis-lapis."

Ambar tak terima. "Mama nggak percaya ada yang sanggup menghadapi kamu berpuluh-puluh tahun kayak Mama."

"Rasyid bakal jadi generasi penerus Mama. Tenang aja."

"Mama perasaan dulu nggak ngidam aneh-aneh pas hamil kamu, Del."

"Hidup Mama bakal boring kalau punya anak macem Mbak Tere aja." Kali ini Adel menatap mamanya. Menangkupkan dua tangan di pipinya sendiri. "Aku hadir melengkapi hidup kalian."

Ambar bergedik geli. Buru-buru mengalihkan. "Mama bawa lauk beberapa macam, nanti tinggal diangetin aja. Kamu belum lupa cara nyalain kompor, 'kan?"

"Mama nggak perlu repot-repot. Aku ikutan repot jadinya. Mesti angetin makanan. Rasyid nggak protes kok tiap kami pesan makanan." Jawaban yang mampu membuat orang terjungkal tanpa terpleset. Tahu, 'kan, maksudnya? Oke, Adel anggap kalian paham.

"Nanti dicap jadi menantu durhaka kamu, Del!" Ambar gemas ingin menabok anaknya, tapi jarak mereka cukup jauh. Dia tidak mau ambil risiko tersandung barang-barang ini.

Wedding in Chaos [15+] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang