Chapter 22

14.9K 2K 237
                                    

Tidak banyak yang bisa Adel lakukan hari ini. Ponsel dia biarkan tergeletak entah di mana. Setelah sarapan, dia menyalakan televisi. Menatap nanar layar yang menampilkan gosip.

Menelengkan kepala, melihat ke pintu balkon, hujan ternyata. Mematikan televisi, Adel beranjak dari ruang tengah. Sepertinya menatap hujan lebih menenangkan.

Dia terbiasa dengan situasi seperti ini. Bertengkar dengan Mbak Tere jadi hal yang lumrah. Sejak kecil mereka terbiasa bertengkar karena hal-hal sepele. Sekarang, saat sama-sama sudah dewasa, mereka meributkan saham. Sungguh miris. Adel dulu sempat berpikiran naif jika dirinya dan Mbak Tere bisa dekat layaknya saudara. Saling menjaga satu sama lain.

Tapi mimpi Adel kajauhan.

Suara pintu terbuka. Adel tidak perlu menoleh untuk melihat siapa yang datang. Mungkin Rasyid mengambil sesuatu yang tertinggal.

Adel menoleh saat merasakan kehadiran Rasyid di ambang pintu balkon. Lelaki itu mengangkat plastik putih bertuliskan merk ayam sambil nyengir lebar. "Aku bawa makan siang."

"Duluan aja. Aku masih pengin di sini."

"Aku ganti baju bentar." Rasyid bergegas masuk. Mengganti kemeja dengan kaus. Mampir ke dapur untuk meletakkan plastik makanan dan membuat dua mug cokelat panas.

Rasyid duduk di kursi yang lain setelah meletakkan dua mug di atas meja. Yang seketika asapnya dijadikan objek lamunan Adel.

"Aku pernah berantem sama Irsyad. Bahkan sama Mbak Rasya pun pernah." Rasyid tahu kenapa Adel memilih duduk di balkon. Pastilah karena masalah kemarin. Jika Adel sampai menangis, mungkin sesuatu itu sudah melewati batas toleran perempuan itu.

"Gara-gara apa?"

"Salma."

Masih menatap kepulan asap. Mendengkus pelan. "Hebat banget Salma bisa bikin kalian pecah."

"Irsyad yang keras kepala sebenarnya."

"Irsyad udah cinta mati banget sama Salma?"

"Mereka seperti terlahir memang ditakdirkan bersama."

"Terus kenapa sama Mbak Rasya?"

"Mbak Rasya dukung keputusan Ayah dan Bunda. Ikutan nggak merestui hubungan Irsyad dan Salma."

"Salma terlihat seperti perempuan baik-baik. Kenapa hubungan mereka ditentang?"

Pertanyaan sederhana yang sulit Rasyid jawab. Akhirnya dia membuat jawaban diplomatis. "Kamu sempat heran nggak kenapa Ayah dan Bunda begitu aja nerima kamu?"

Adel mengerutkan dahi. Berpikir sebentar. "Jadi, sebenarnya aku nggak lolos seleksi jadi mantu ya?"

"Mungkin kalau aku bawa kamu ke rumah lima tahun lalu, nasibku sama kayak Irsyad dan Salma."

"Jadi kemudahan kita kemarin, murni karena kelonggaran hati Ayah dan Bunda ya?" Ah, akhirnya ketemu juga alasannya. Adel percaya bahwa jalan mereka terlalu mulus kemarin. Saking mulusnya, terlalu aneh.

"Iya. Beruntung ya kita."

Bukan itu sih masalahnya. "Ayah dan Bunda kalau tahu kita cuma main-main, gimana?"

Wedding in Chaos [15+] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang