"Kalau nggak egois, kamu harusnya lepasin saham kamu di perusahaan. Toh, kamu nggak ada andil apa-apa selama ini. Saham itu lebih bermanfaat kalau aku yang pegang."
Adel menghela napas. Dia tidak tahu jika dia datang ke sini hanya untuk ditodong saham. Keterlaluan. Apa isi kepala kakaknya hanya saham semua?
Mama yang duduk di sampingnya nyaris menjawab, tapi Adel menggenggam tangannya.
"Astaga, Mbak, cuma 5%. Nggak seberapa dibanding saham Mbak yang 50%. Sejak dulu, bahkan saat Papa masih ada, aku nggak pernah ngutak-ngatik perusahaan. Kenapa Mbak harus mempermasalahkan kepemilikan sahamku?" Adel capek dengan drama ini. Bukan hanya sekali. Kakaknya mengungkit 5% ini berulang kali. Seolah belum bosan. Seolah Adel akan berubah pikiran kapan saja dan menyerahkannya secara cuma-cuma.
Bukan Adel bermaksud serakah. Saham itu sudah menjadi miliknya sejak dia lulus SMA. Adel anggap itu sebagai kepercayaan yang almarhum Papa berikan padanya. Dia juga tahu berapa saham kakaknya sejak awal. Dan dia terima-terima saja. Tidak menganggap Papa tidak adil atau bagaimana.
Mama bersuara setelah berhasil meredam emosi. Dia benci situasi saat kedua anak perempuannya lagi-lagi bersitegang. "Re, ambil saham Mama kalau kamu mau. Tapi jangan pernah mengusik milik adikmu."
"Ma, nggak bisa gitu dong." Adel tentu keberatan. "Mbak Tere tuh kebiasaan. Apa-apa harus ikut maunya dia!"
"Bukannya kamu lebih suka yang simpel?" Tere menaikkan sebelah alisnya. "Kamu serahin saham kamu dan kita bisa benar-benar hidup damai."
Adel berdiri. "Oh, nggak semudah itu. Mbak pikir selama ini aku selalu ngalah, terus aku bisa diinjak-injak? Nggak. Sampai kapan pun, Mbak nggak akan dapat sahamku atau saham Mama!"
Tere menyeringai. Bersedekap dengan tenang. Duduk anggunnya itu benar-benar menyebalkan.
"Berhenti serakah, Mbak. Harta nggak bakal dibawa mati. Apa sih yang Mbak kejar? Sampai buta hati gini."
"Kamu nggak ngerti. Nggak bakal ngerti, Adel. Kalau bukan karena aku, perusahaan nggak akan semaju sekarang. Kamu mana bisa diandalkan?"
"Iya, aku memang nggak bisa diandalkan. Mbak jauh lebih kompeten dari aku. Mbak lebih baik segala-segalanya dibanding aku. Terus kenapa? Itu bisa dijadikan alasan untuk ambil sahamku?"
Tere bersedekap. Mendengkus. "Papa pasti kecewa lihat kamu begini."
"Mbak tahu apa soal Papa?!" Adel nyaris lepas kendali. Beruntung Mama cepat tanggap. Dipeluknya Adel erat-erat. Dibisiki kalimat sabar. Tapi sayangnya tidak mempan. "Mbak ke mana waktu Papa kritis? Mbak lebih mentingin ketemu klien!"
"Del, udah." Mama hampir menangis.
"Papa cuma pengin lihat Mbak yang terakhir kalinya. Tapi Mbak nggak mau tahu, 'kan? Mbak bisa banget turun dari pesawat di detik terakhir. Tapi Mbak nggak mau ngelakuin itu, 'kan?" Adel tersenyum getir. "Yang egois siapa sebenernya?!"
***
Rasyid mondar-mandir di teras gedung. Sesekali mengecek jam di ponsel. Menahan diri untuk tidak menelepon Adel lagi. Menurut saja saat perempuan itu bilang 'tunggu', padahal Rasyid ingin sekali menjemput.
Tadi dia sengaja pulang lebih awal. Berharap menemukan Adel sudah dalam suasana hati yang baik. Tapi perempuan itu tidak ada di apartemen. Entah pergi sejak jam berapa. Saat panggilan ketiga Rasyid akhirnya diangkat, Adel hanya menjawab aku di rumah Mama. Hanya itu dan telepon langsung dimatikan.
Rasyid mencoba menelepon lagi, tapi nomor Adel tidak aktif. Tidak apa. Setidaknya perempuan itu tidak memblokir nomornya lagi.
Setengah jam menunggu, hingga sebuah taksi merapat di teras. Adel keluar dari sana. Mukanya muram. Rasyid mendekat. Merangkul bahu istrinya. Tidak ditepis. Mereka berjalan menuju lift dalam diam. Rasyid sedang membaca situasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding in Chaos [15+] ✓
Romance[Angst-comedy] CERITA LENGKAP ✅ Ini tentang Rasyid yang terlalu tabah dan Adelia yang terlalu bebal. Menikah dengan asas simbiosis mutualisme, membuat mereka masuk ke dalam fase hidup yang jungkir balik. Banyak hal membuat langkah mereka terhenti d...