Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berusia dua puluh dua tahun berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia panggil dengan sebutan Abi. Bisa jadi lelaki itu adalah akar penderitaan dan trauma pada laki-laki alim selama ini.
Wahyu Nugraha Pambudi, adalah sosok abi yang memiliki dua orang istri. Kebencian Mahira pada sang abi yang berpoligami membuat Mahira berjanji tak akan mau dipilihkan jodoh oleh abinya.
Mahira yang merupakan anak bungsu dari istri kedua sering kali mengalami ketidakadilan. Mulai dari di cemooh tetangga, sampai teman-temannya.
"Cieh.. anak pelakor nih yang dapet peringkat satu?" Meski Mahira memperoleh prestasi, tetap saja cap sebagai anak pelakor selalu melekat di dirinya.
"Oh mahira? anaknya Pak Wahyu dari bini mudanya itu ya?" Begitupun dengan tetangga-tetangganya yang juga sering meledek dia.
Begitulah beberapa cemoohan yang hampir setiap hari ia dengar. Mahira menjadi tak pernah nyaman bercengkrama dengan teman-teman sekolahnya atau di masyarakat. Meski jika sudah mengenalnya dengan baik, dia adalah sosok yang ramah dan supel.
Semakin dewasa, Mahira semakin membenci Abinya. Belum lagi ia sering melihat uminya yang diam-diam menangis di sepertiga malam. Meski kedua istri Abinya selalu rukun, dan selalu terlihat harmonis di depan orang-orang, namun tidak dengan anak-anaknya. Meski diberi bekal pendidikan agama sedari kecil, anak dari istri pertama sering kali membenci kehadiran anak istri kedua.
"Mahira, kemarilah, Nak." Titah Wahyu yang sedang duduk bersama kedua istrinya Aida dan Hanum.
"Ada apa Abi?" Mahira dengan malas duduk di depan orangtuanya. Dia tahu kemana arah pembicaraan Abinya.
"Nak, kamu sudah mau lulus kuliah kan? Sudah saatnya kamu berkeluarga. Kakak-kakakmu sudah berkeluarga semua. Tinggal kamu yang belum. Abi sudah tua, Nak. Ingin sekali melihatmu menikah."
"Abi mau jodohin aku lagi?"
"Iya, nak."
"Mahira tidak mau." Sejak lulus SMA, Wahyu sudah sering mencarikan jodoh untuk Mahira. Namun gadis itu tidak pernah mau. Alasannya hanya satu dia tidak ingin jodoh yang dipilihkan oleh abinya. Mahira bangkit dari sofa empuk yang tadi ia duduki. Enggan untuk melanjutkan perbincangan mereka.
"Tapi dia anak yang sopan dan sholih, Ra."
"Sholih, dan rajin sholat buat apa kalau ujung-ujungnya poligami Bi?"
"Mahira, sampai kapan kamu akan memilih-milih jodoh?"
"Sampai ada lelaki yang mau berjanji hitam di atas putih ditempeli materai, tidak akan berpoligami sampai akhir hayatnya."
"Mahira, tidak semua laki-laki sholih itu akan berpoligami, Nak." Aida istri pertama ikut menengahi pembicaraan itu.
"Omong kosong... Mahira tidak mau punya suami seperti Abi. Titik. Abi, tolong jangan pernah jodoh-jodohkan Mahira lagi dengan siapapun. Pasti Abi mencari orang yang seleranya sama seperti abi. Tukang poligami."
"Cukup Mahira!!" Kali ini Wahyu benar-benar habis kesabarannya pada Mahira. Gadis itu bukannya minta maaf tapi malah meninggalkan orangtuanya di ruang keluarga. Mahira memang sangat keras kepala. Gadis tomboi itu punya watak keras seperti Wahyu. Oleh sebab itu sejak dulu mereka berdua sering kali beradu pendapat.
"Abi, maafkan umi yang tidak bisa mendidik Mahira." Ucap Hanum sambil terisak. Wahyu hanya diam.
"Sudahlah Hanum, ini bukan salahmu seorang. Tapi salah kita bertiga. Kita yang kurang maksimal mendidik anak-anak kita." Aida dengan lembut menenangkan hati Hanum. Di antara Aida dan Hanum tidak pernah saling iri. Mereka saling mendukung satu sama lain. Tapi tidak dengan anak-anak mereka.
"Ini salah Abi. Kalau saja Abi tidak berpoligami mungkin Mahira tidak akan membenci laki-laki sholih sampai seperti itu."
"Maafkan Mahira ya Bi." Hanum meraih telapak tangan suaminya lalu menciumnya. Dia merasa sangat berdosa dengan sikap pembangkangnya Mahira.
"Sudahlah Umi, ini bukan salah Umi."
******
Di dalam kamar, Mahira membanting slingbagnya di atas kasur. Dia benar-benar muak dengan sikap Abinya yang memaksa dia untuk menikah dengan lelaki pilihannya.Mahira sangat membenci lelaki alim dan sholih. Baginya lelaki seperti itu hanya pencintraan untuk menggaet banyak perempuan cantik untuk dijadikan istri dengan dasar Sunnah Rasul.
"Munafik... mereka itu munafik. Ingin terlihat alim tahunya cuma tebar pesona." Mahira merebahkan tubuhnya. Memandang langit-langit kamar. Dia masih dengan prinsipnya. Tak akan mau memilih laki-laki alim seperti anak pondokan atau ustadz dan sejenisnya untuk menjadi suaminya. Yang pintar agama hanya untuk menarik perhatian wanita. Dia lebih suka lelaki yang terlihat urakan, tapi baik hatinya dan tidak mau poligami tentunya. Mahira masih berpegang teguh bahwa don't judge a book by its cover. Jangan menilai buku dari sampulnya. Meski berhijab, dia cenderung berteman dengan semua tipe orang. Pembawaannya yang supel, membuat dia bisa diterima di berbagai kalangan. Termasuk preman dan anak jalanan.
Hanya satu laki-laki yang menarik perhatiannya. Seorang preman yang begitu tampan dan baik hati. Meski penampilannya urakan, dia adalah laki-laki yang suka menolong banyak orang. Dan yang pasti dia tidak pernah tebar pesona dengan para wanita. Mahira tersenyum-senyum sendiri di dalam kamarnya.
******
"Maaf Ustadz Fajar dan Nak Aydin. Mahira sedang keluar. Padahal Saya sudah bilang sama dia kalau akan mempertemukan dia dengan seseorang." Wahyu merasa bersalah dengan ustadz Fajar yang juga sahabat karibnya."Tidak apa-apa Ustadz Wahyu. Kami maklum. Mungkin lain kali kami akan datang lagi. Ya kan Aydin?"
"Iya Abi. Tidak apa-apa ustadz Wahyu. InsyaAllah masih ada hari lain untuk berta'aruuf dengan Mahira."
Aydin Wira Althafurrahman dua puluh lima tahun. Seorang ustadz muda lulusan Kairo. Dia sangat cerdas. Suaranya yang sangat merdu saat membaca ayat suci Al-Qur'an membuatnya dipercaya menjadi salah satu Imam di masjid besar di kota mereka.
Aydin yang sholeh dan tampan tak pernah berpenampilan layaknya seorang Ustadz yang lekat dengan baju koko dan Peci. Malah dia lebih terlihat seperti preman. Suka mengenakan jaket kulit dan celana jeans. Baginya berpenampilan casual seperti ini membuatnya bisa masuk ke masyarakat pinggiran yang identik dengan preman, anak jalanan, dan pemulung. Begitulah keseharian ustadz muda itu. Blusukan di perkampungan kumuh untuk berdakwah. Bukan di atas mimbar dengan banyak jamaah dari berbagai kota, tapi duduk lesehan sambil berbincang lalu ia selipkan sedikit nilai-nilai agama yang bisa dimengerti oleh kalangan itu. Tak sedikit preman dan anak jalanan yang pada akhirnya mau sholat setelah sering berbincang dengan Aydin. Seperti pembicaraannya dengan preman beberapa waktu yang lalu.
"Apa uang yang kami dapatkan itu halal Bang." Tanya salah seorang preman yang sehari-harinya menarik uang dari para pedagang di pasar.
"Selama kamu tidak mengambil hak milik orang lain Insyaallah halal."
"Tapi beberapa orang di antara mereka memberinya dengan terpaksa Bang."
"Nah itu yang tidak boleh. Sesuai dengan hadist ini. Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya." (HR. Abu Dawud dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami' no. 7662).
"Jadi aku dosa ya bang selama ini?"
"Kalau sekarang kamu tahu itu dosa, maka mulai sekarang tinggalkan."
"Tapi kita dapat uang dari mana Bang? Padahal uang itu kan untuk keamanan juga."
"Beri pengertian pada para pedagang. Kalau uang itu untuk keamanan mereka. Agar pasar lebih aman. Coba kalau tidak ada kalian, mungkin akan banyak pencopet di pasar. Dan berilah mereka kelonggaran. Misal dagangan mereka belum ada yang laku ya jangan dipaksa bayar. Semua harus sama-sama ridho. Karena kalian kan saling membutuhkan. Ya ga bro?"
"Ya Bang Wira. Makasih banyak ya Bang."
"Udah adzan tuh. Sholat yuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABI
SpiritualFOLLOW DULU YA. BIAR BISA BACA SELURUHNYA. Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia pang...