36.PERTEMUAN DENGAN IDRIS

7.6K 604 18
                                    

Hanum sangat bahagia. Entahlah tidak ada kalimat yang bisa mengungkapkan rasa bahagianya. Baru saja Ibu mertuanya, Nuriyah menghubunginya kalau Idris, putra sulungnya telah kembali. Dan dia bersedia untuk menjadi wali bagi Mahira. Saking bahagia karena akan bertemu dengan anaknya, Hanum membangunkan Wahyu yang sudah terlelap. Padahal biasanya, Hanum tak pernah berani membangunkan suaminya jika baru saja tertidur seperti sekarang.

"Mas, bangun Mas." Hanum menggoyangkan tubuh suaminya pelan.

"Ada apa sih Dek?"

"Mas, ibu barusan telepon." Hanum tersenyum sumringah. Jarang-jarang Wahyu melihat Hanum bisa tersenyum seperti ini.

"Bu Nuriyah telepon?"

"Iya Mas. Beliau telepon. Katanya Idris sudah pulang dan lusa dia mau jadi walinya Mahira."

"Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya. Tapi--" Wahyu tampak murung. Ada yang mengganjal di hatinya.

"Tapi apa Mas?" Hanum tidak lagi tersenyum setelah melihat wajah Wahyu terlihat murung. Dia menggenggam tangan suaminya.

"Berarti besok sudah saatnya Mas cerita semuanya pada Mahira. Kalau Mahira bukan anak kandung Mas." Wahyu menatap manik mata sang istri.

"Mas, tidak usah khawatir. Mahira pasti akan mau menerima. Mahira sejak kecil tahunya Mas adalah Abi kandungnya. Aku yakin dia sangat menyayangi Mas. Dibalik sifat kerasnya yang sebelas dua belas sama Mas."

"Masa sih Mas keras? Mas ga pernah mukul istri atau anak."

"Iya emang ga pernah. Tapi mas itu keras kepala. Sama seperti Mahira. Bahkan sampai sekarang saja Mas masih keukeh untuk tidak memberitahu pada Mahira tentang calon suaminya."

"Apa menurutmu Mahira akan marah kalau tahu Aydin itu adalah Wira?"

"Mungkin saja marah, Mas. Tapi bukankah dia mencintai Wira? kita menikahkan dia dengan orang yang memang dia inginkan. Kalau dulu dia mengajukan nama lain mungkin beda lagi ceritanya."

"Iya kamu benar, Dek. Mas takut Mahira akan menganggap Mas berbohong banyak hal. Pertama tentang Aydin, dan yang kedua tentang ayah kandungnya."

"Kita memang salah. Karena tidak memberitahu dia dari dulu. Tapi waktu itu keadaan kita sedang sulit, Mas. Kamu tahu bagaimana aku dan Mahira tidak pernah dianggap oleh keluargamu dan juga anak-anakmu. Coba kalau dulu kita cerita, Mahira pasti akan tambah tertekan dan akan mengganggu tumbuh kembangnya."

"Iya, Dek. Aku juga berfikir begitu. Mereka semua hanya bisa melihat poligami dari segi negatifnya saja. Padahal waktu itu aku sedang berusaha untuk membantu seorang jada yang masih punya anak kecil sepertimu. Dan itu juga atas persetujuan Aida. Kalau dulu Aida tidak mengizinkan, aku juga tidak akan poligami."

"Mbak Aida memang luar biasa. Dia adalah orang yang sangat baik, Mas. Dia sudah seperti kakak untukku."

"Iya, Aida wanita yang luar biasa. Kamu jangan cemburu ya kalau aku memujinya."

"Ah Mas ini bisa saja. Kita sudah sama-sama tua, Mas. Sekarang yang kita pikirkan adalah bekal untuk akhirat saja dan membimbing anak cucu kita."

"Sejak kapan kamu bijak begini, Dek?"

"Lho memang selama ini aku seperti ini kan, Mas?"

"Tumben kamu bisa bercanda. Pasti karena kamu sedang bahagia mau ketemu Idris ya?" Wahyu mencubit ujung hidung Hanum pelan. Mereka tersenyum bersama.

"Iya aku sangat bahagia, Mas. Sebentar lagi aku mau kumpul lagi dengan anak-anakku."

"Sini.." Wahyu menepuk bantal di sebelahnya. Tanda agar Hanum tidur di sebelahnya.

(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang