Edo yang berada di atas ranjang pasien, hanya bisa diam. Dia tidak mengerti dengan sikap Mahira. Dia asal mengatakan kalau mau bertemu dengan ceweknya. Apa itu yang membuat Mahira marah? Apa Mahira juga menyukainya? Seulas senyum ada di bibir Edo. Tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia tidak pantas untuk Mahira. Apalagi Mahira adalah orang yang disukai oleh Wira. Orang yang banyak berjasa dalam hidupnya. Bahkan sekarangpun dia sedang meminta bantuan pada Wira untuk melindungi anak buahnya.
"Mahira tunggu...." Anisa berlari mengejar Mahira. Dia sangat heran dengan perubahan sikap Mahira yang tiba-tiba. Apa ada hubungannya dengan ucapan Edo? "Eh... lo kenapa sih?" Anisa menarik tangan Mahira saat ia berhasil mengejar sahabatnya itu.
"Gapapa.." Mahira mengusap airmata saat dipandang oleh Anisa. Dan mereka kini saling berhadapan.
"Lo suka sama bang Edo?" Mahira diam tapi matanya masih mengeluarkan airmata. "Lo cemburu bang Edo mau ketemu ceweknya?" Tak ada tanggapan dari sahabatnya. "Susah deh ngomong sama orang yang lagi cemburu."
"Gue ga tahu suka apa tidak. Tapi kenapa gue sakit waktu bang Edo bilang mau ketemu ceweknya."
"Yuk pulang ke rumah lo dulu. Gue anter. Nanti kita cerita di sana. Udah mau maghrib soalnya." Anisa memang yang menjemput Mahira tadi. Dia pikir Mahira butuh bercerita. Tapi tidak di tempat umum seperti ini. Mahirapun akhirnya mengangguk. Mereka naik ke motornya Anisa.
Mahira tak tenang sepanjang perjalanan. Apa benar dia sudah jatuh cinta pada Edo? seorang preman tampan yang sejak awal mereka bertemu telah mencuri hatinya. Mahira yang tak pernah jatuh cinta bingung mengartikan perasaannya sendiri.
**
"Ayo sekarang lo boleh cerita, Hira," ucap Anisa yang saat ini berada di kamar Mahira. Gadis itu menelisik wajah sahabatnya yang terlihat murung."Gue ga tahu gue suka apa enggak sama Bang Edo. Tapi kenapa gue sakit rasanya waktu bang Edo bilang mau ketemu ceweknya."
"Itu namanya cemburu, Non."
"Masa sih?"
"Oh iya lo kan ga pernah jatuh cinta. Jadi lo ga tahu rasanya cemburu itu kayak apa."
"Gitu ya Nis?"
"Otak lo emang encer Ra, tapi urusan cinta lo kalah jauh dari gue."
"Iya elo kan sering naksir cowok. Tapi ga ada yang balik suka sama lo."
"Hehehe.. standar gue ketinggian soalnya. Dan kalau gue lihat sekarang, standar lo terlalu rendah Ra."
"Maksud lo?"
"Iya, elo dijodohin sama laki-laki sholeh tapi malah milih preman. Apa itu bukan standar terlalu rendah?"
"Jangan membeda-bedakan orang seperti itu, Nis. Kita tidak tahu akhir hidup manusia akan seperti apa. Bisa jadi yang sholih, di akhir hidupnya ditakdirkan meninggal dalam keadaan ingkar. Dan sebaliknya bisa jadi yang terlihat buruk sekarang, di akhir hidupnya ditakdirkan meninggal dalam keadaan beriman."
"Tapi kan bisa saja sebaliknya. Iya kalau premannya mau taubat. Kalau tidak? apa kita ga menyesal seumur hidup? bukannya seorang muslim itu harus hati-hati dalam mengambil keputusan ya? untuk mencari pendamping, kita harus melihat agamanya juga kan? Karena kelak dia yang akan jadi imam kita. Dan laki-laki yang bisa jadi imam yang baik adalah yang tahu tentang agama."
"Ya gue tahu. Tapi gue ga pernah tahu kemana hati gue bakal berlabuh. Kalau ternyata gue emang berjodoh sama preman gimana?"
"Jodoh itu perlu diusahakan, Ra. Dan ketika lo milih suami, dia yang akan mendampingi lo seumur hidup. Jadi menurut gue, mending lo nurut sama abi lo deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABI
SpiritualFOLLOW DULU YA. BIAR BISA BACA SELURUHNYA. Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia pang...