"Ampun bang, ampun.." bocah berumur dua belas tahun itu mengaduh kesakitan setelah mendapat bogem mentah dari lelaki bersorot mata tajam bak mata elang. Dia mendekati bocah itu, mencengkram ujung leher kaosnya hingga membuat tubuhnya terangkat sedikit ke atas. Ketakutan. Dengan sorot mata tajam yang mengarah padanya. Anak-anak yang lain tak ada yang berani mendekat. Mereka tak berani melerai keduanya. Lagipula siapa yang berani mendekat saat ketua kelompok barat ini sedang marah.
"Berani ya lo berkhianat di belakang gue? sekarang lo pilih. Mau tetap di sini atau gabung dengan kelompok timur, Ha? Dasar anak tak tahu diuntung. Lo itu gue pungut dari jalanan, gue bantuin tapi ternyata lo malah berkhianat."
"Bos, lepasin Bojez bos." Retro karibnya Bojez tak tinggal diam. Akhirnya dia mendekati Edo agar lelaki itu melepaskan cengkramannya.
"Gue mau denger dia ngomong apa?pergi sana lo. Atau mau gue pukul juga lo?" Mendengar suara menggelegar yang penuh kemarahan, Retro akhirnya menjauh. Dia tak berani jika Bos mereka sedang marah seperti ini.
"Iya bos maaf, gue ga akan berkhianat lagi. Gue milih di sini bos. Gue janji."
"Gue pegang omongan lo. Tapi sekali lagi lo kayak gini. Ga akan pernah gue ampuni. Ngerti ga lo?"
"Iya bos.. ampun bos." Edo melepaskan cengkaramannya, lalu menepukkan kedua tangannya. Mengambil sebatang rokok lalu menyalakan dan menghisapnya.
"Lo kenapa? pasti ada yang ganggu pikiran lo." Andri memegang bahu sahabatnya. Sejak kecil Edo dan Andri sudah berada di jalanan. Mereka akrab dan sudah tahu watak satu sama lain. Andri yang terkesan pendiam hanya bisa sebagai penasehat Edo saat si ketua itu harus memecahkan masalah serius tentang kelompok mereka.
"Gapapa." Andri ikut duduk di sebelah Edo. Di atas ban bekas yang sengaja di ditumpuk dan diberi papan ala kadarnya sebagai tempat nongkrong mereka setiap malan.
"Jangan bohong. Gue tahu dari sorot mata lo. Lo itu bukan hanya marah. Tapi lo sedang sedih. Kita tumbuh besar bersama. Jadi gue tahu bedanya antara lo sedang marah atau sedih."
"Sok tahu lo."
"Hahaha.. pasti cewek."
"Gue ga doyan cewek."
"Gue baru tahu lo gay?"
"Enak aja lo ngomong.."
"Hahaha... terus apa bedanya ga doyan cewek sama guy?"
"Ya beda lah."
"Mahira?"
"Jangan sok tahu."
"Gue tahu lo suka sama dia. Dia emang cantik koq. Baik hati lagi. Siapa yang ga suka sama tuh cewek. Dia yang paling bening di antara pengajar yang lain. Dan gue lihat dia deket banget sama lo. Gue yakin pasti dia penyebabnya. Soalnya gue ga pernah lihat lo menatap cewek kayak lo natap Mahira."
"Emang lo pernah lihat gue natal Mahira."
"Gue ga oon bro. Gue beberapa kali ngelihat kebersamaan kalian. Dan lo selalu bisa tertawa lepas saat ngobrol sama dia. Mata lo ga bisa bohong. Emang gue ga pernah jatuh cinta."
"Bodo lah... Gue ngantuk.. Gue mau tidur." Edo enggan menjawab. Dia memilih pergi dari hadapan Andri. Laki-laki pendiam itu bisa berubah seperti ibu-ibu bawel kalau sedang mencermahinya.
"Jangan bohongi hati lo Edo. Lo itu ga pernah jatuh cinta. Jadi lo ga ngerti kalau apa yang lo rasain itu cinta. Jujur sama diri lo sendiri."
"Gue ga mau jatuh cintaaaaa...!!" Teriak Edo sambil merebahkan tubuhnya di atas bangku bambu panjang yang biasa dia pakai untuk tidur setiap malamnya. Tidur yang tak lebih dari tiga jam sehari. Karena dia harus memantau anak-anak buahnya yang bertugas setiap dini hari di pasar. Jam-jam malam seperti itu sangat rawan tindak kriminal.
Tidur beralaskan bambu dan beratapkan langit, menjadi kebiasaannya sehari-hari. Meski sebenarnya dia bisa membeli rumah dengan kasur empuk, tapi tak pernah dia lakukan. Dia memilih menggunakan uangnya untuk membantu keluarga anak-anak buahnya. Sedangkan dirinya sendiri yang tidak punya keluarga, ikut senang jika melihat orang lain senang.
********
Mahira enggan memejamkan mata malam ini. Ucapan Furqon memang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Meski kakaknya itu tidak serumah dengannya, tapi jika bertemu dengannya, kakak tirinya itu selalu saja menyinggung perasaannya. Oleh sebab itu Mahira selalu menghindar jika kakak-kakaknya sedang berkunjung ke rumah Abinya. Dulu Latifah juga seperti itu, tapi akhir-akhir ini sifat nyinyirnya sudah mulai berkurang."Ya Allah hamba bukannya membenci poligami yang jelas-jelas engkau perbolehkan. Tapi jika aku keberatan di poligami, salahkah hamba ya Allah?" Entah itu termasuk trauma atau bukan. Tapi sikap Mahira yang begitu membenci laki-laki yang bertampang alim itu adalah bagian dari rasa traumanya. Dia takut laki-laki itu akan menyakitinya, menduakannya. Dan entah kenapa ketakutannya itu tiba-tiba saja hilang saat dia bertemu Wira. Laki-laki yang ia kenal sebagai preman pada awalnya. Tapi sifatnya yang berbeda jauh dari tampilannya membuat Mahira nyaman.
Apakah dia sudah sembuh dari traumanya? Mahira juga tidak tahu. Tapi setelah ia bertemu dengan Furqon, ketakutan itu muncul lagi. Hingga pukul sebelas malam, Mahira tak bisa memejamkan matanya. Dia akhirnya keluar kamar. Melihat rumah yang sudah gelap karena lampu dimatikan semua, Mahira keluar menuju ke kolam renang. Bukan untuk berenang. Tapi hanya bermain air sambil melihat bintang dan bulan yang sedang bersinar di atasnya.
"Mahira.. " suara seorang laki-laki mengagetkan dirinya. Laki-laki yang sangat dia kenal. Dan setiap kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu selalu saja membuat dia dan uminya sakit hati.
"Ada apa Mas?" Mahira tak acuh saat Furqon mendekatinya.
"Dek, boleh ga kakak duduk di sini?" Mahira mendongak lalu mengangguk pelan. Sangat heran karena tak biasanya Furqon memanggil dia dengan sebutan Dek. Entah kenapa hati Mahira menghangat mendengar panggilan itu.
"Koq belum pulang kak? Mau nginep di sini?"
"Tadi kakak habis ngobrol sama Abi. Waktu keluar, pas lihat pintu kolam renang terbuka. Aku lihat kamu duduk di sini."
"Ada apa Kak?"
"Maafin kakak ya, Dek. Karena sejak kamu kecil, kakak tak sengaja sering menyakitimu."
"Bukannya tidak sengaja. Tapi sengaja kak. Kalian bertiga selalu jahat sama aku. Memangnya aku pernah salah sama kalian? Tapi kalian selalu saja menyebutku dengan panggilan yang tidak pantas. Dan masih akan selalu membekas di hatiku."
"Iya kakak tahu. Sekarang kakak sadar setelah sekarang kakak mengalami hal yang sama."
"Iya, kakak mengikuti jejak abi kan. Sukurin. Makan tuh pelakor."
"Dek, aku ga mau ke sini ga mau ngajak kamu ribut ya. Aku cuma ingin minta maaf sama kamu."
"Kamu dipaksa sama Abi ya minta maaf sama aku?"
"Enggak Dek. Ini tulus dari hatiku. Mata hatiku terbuka setelah ngobrol dengan abi. Aku sadar kalau selama ini aku sudah salah sama kamu dan umi Hanum."
"Aku butuh waktu buat maafin kamu, kak. Tapi aku akan memaafkanmu kalau Umiku mau maafin kamu." Mahira berdiri lalu meninggalkan Furqon sendiri. Lelaki itu hanya bisa melihat punggung adiknya. Ternyata sebegitu dalamnya Mahira membencinya. Pantas saja Mahira sampai membenci laki-laki alim yang mungkin salah satunya karena dia.
Furqon hanya bisa diam. Dia mengingat semua kesalahannya. Dia yang tahu agama seharusnya tidak memperlakukan Mahira dan Hanum seburuk itu. Meski dia melakukan itu juga karena sakit hati karena Abinya menikah lagi dan menyakiti uminya. Tapi kini dia juga sadar. Mahira tak seharusnya ia perlakukan seperti itu. Karena sejatinya Mahira tak tahu apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABI
SpiritualFOLLOW DULU YA. BIAR BISA BACA SELURUHNYA. Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia pang...