Hanya tinggal menghitung hari saja Mahira akan melepaskan masa lajangnya. Dia akan dipersunting dengan laki-laki pilihan Abinya. Aydin. Entah siapa nama lengkapnya, atau bagaimana parasnya, Mahira tak ingin tahu. Selama satu bulan ini dia berubah jadi pendiam dan pemurung. Umi Hanum sudah menyuruh Abi Wahyu untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi Wahyu tetap pada pendiriannya. Dia ingin pernikahan putrinya berkesan. Mahira harus belajar tentang sesuatu.
"Mahira, makan dulu sayang. Lusa kamu akan menikah, kamu tidak boleh seperti ini terus. Kamu bisa sakit nanti." Hanum membawakan makanan untuk Mahira di kamar. Sejak kemarin, Mahira cuti mengajar. Rahma sudah mengizinkannya. Dan sedari pagi, Mahira belum mau keluar kamar untuk makan. Hanum sangat khawatir melihat putrinya yang pucat dan tak mau makan.
"Biar saja Mahira sakit, Mi. Biar saja Mahira mati sekalian" Mahira menatap kosong jendela kamarnya. Sama sekali tidak mau melihat makanan enak yang terhidang di depannya.
"Hushh.. jangan ngomong begitu. Ga boleh doa jelek untuk diri sendiri, ga bagus, Nak."
"Mahira putus asa, Mi. Abi jahat sama Mahira." Mahira menangis dipelukan Hanum. Wanita itu sedih melihat putrinya seperti ini. Tapi ini untuk kebaikan Mahira. Memang terlihat kejam. Tapi Mahira lusa akan sangat bahagia dengan kejutan yang akan diberikan oleh Abinya. Laki-laki yang menikahinya adalah orang yang ia inginkan selama ini.
"Tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, Nak. Tidak ada orangtua yang ingin anaknya menderita. Abi sudah memilihkan yang terbaik untukmu. Kamu jangan bersangka buruk terus pada Abi. Memangnya kamu tidak ingin melihat foto calon suamimu? Kamu pasti akan terpesona saat berjumpa nanti. Dia tampan, sholeh, baik."
"Memangnya Umi pernah bertemu dengan Aydin aydin itu?"
"Pernah.. Kapan ya waktu itu Aydin datang bersama Abinya mau berta'aruf sama kamu. Tapi kamu malah pergi. Ga mau ketemu sama Aydin."
"Aku ga suka sama dia, Mi. Aku sudah punya pilihan sendiri. Aku sudah shalat istikharah dan jawabannya itu dia, Mi. Tapi Abi bersikeras untuk tetap menikahkan aku dengan anak sahabatnya. Bahkan aku tidak pernah menyebut nama Aydin dalam doaku, Mi." Mahira melepaskan pelukannya. Mengusap airmata kasar. Dia sudah lelah. Karena hampir setiap hari dia menangis.
"Sudahlah kamu jalani saja dulu ya, InsyaAllah Umi yakin kamu akan bahagia nanti."
"Bagaimana bisa aku bahagia, Mi? akj menikah dengan orang yang tidak aku kenal, dan tidak aku cintai."
"Cinta akan datang dengan sendirinya, Mahira. Dulu Umi dan Abi juga begitu. Umi mencintai Abi baru setelah kami menikah dan menjalani rumah tangga. Itu lebih baik dari pada harus pacaran sebelum menikah."
"Kenapa Umi mau menikah dengan Abi? Padahal Umi tidak cinta?"
"Karena Allah, Nak. Waktu itu Umi masih sangat muda. Ketika ada lelaki sholeh yang mau meminangmu, apa salahnya?"
"Alhamdulillah kami bahagia, Umi Aida juga menerima Umi dan menyayangi Umi seperti adiknya sendiri. Walau kadang ada rasa cemburu, tapi kami memilih ikhlas."
"Mahira takut pilihan Abi akan sama juga dengan Abi. Aku takut dipoligami, Umi."
"Abi secara pribadi sudah bilang pada Aydin tentang hal ini. Dan dia bilang tidak bisa janji."
"Tuh kan, Mi. Pasti dia mau poligami."
"Hei sebentar, Umi belum selesai bicara, Nak. Dia tidak mau janji sama Abi, karena baginya Janji di hadapan Allah ketika ijab Kabul itu jauh lebih besar tanggung jawabnya. Jadi dia tidak ingin menyakiti istrinya dengan cara berpoligami. Intinya begitu." Mahira merasa ucapan Umi barusan sama dengan yang pernah Wira ucapkan padanya waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABI
EspiritualFOLLOW DULU YA. BIAR BISA BACA SELURUHNYA. Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia pang...