Edo berjanji membantu Aydin untuk bisa dekat dengan Mahira. Dua lelaki yang sama-sama tampan itu kini mengobrol sambil menunggu seorang gadis yang masih mengajar di dalam rumah singgah. Setelah mendengar apa yang dikatakan Aydin, Edo merasa canggung. Dia memilih untuk menyembunyikan tanpa ada yang tahu.
"Mulai sekarang panggil saja aku abang ya, Do. Aku tidak ingin Mahira tahu tentang diriku yang sebenarnya."
"Tentu saja, Tadz. Eh Bang."
"Aku tidak tahu apa Mahira mau mengenalku atau tidak. Aku ini tidak pandai bergaul dengan perempuan, Do. Tapi pertama aku melihat Mahira, entah kenapa aku langsung menyukainya. Hanya saja aku tidak bisa mendekatinya karena prinsipnya yang sulit dirobohkan."
"Gadis itu memang keras kepala, bang. Dulu waktu aku melarang dia mengajar anak-anak, bukannya takut dia malah menantangku. Aku heran, apa sih menariknya dari cewek batu itu, Bang?"
"Itulah uniknya Mahira. Dia sebenarnya gadis yang baik."
"Bagaimana Bang Wira tahu kalau Mahira baik, bukannya abang tidak pernah berkenalan dengannya?"
"Dari cerita Abinya. Seorang muslim tidak mengenal pacaran, Do. Kita hanya mengenal ta'aruf. Pada proses ini si wali dari perempuan akan menceritakan kelebihan dan kekurangan si perempuan itu. Dan dari cerita Abinya, Mahira itu adalah gadis yang pintar dan baik hati tapi ya itu keras kepala."
"Kenapa Bang Wira suka sama perempuan model begitu sih bang? Aku aja ogah sama cewek kayak begitu. Bar bar."
"Hahaha... Kamu ini kayaknya benci banget sama Mahira sih Do? jangan berlebihan kalau benci sama orang." Wira merangkul Edo. Meski mereka berbeda latar belakang, namun Aydin yang selisih dua tahun lebih tua dari Edo sudah menganggap Edo seperti adiknya sendiri.
"Bang Edo...!!!" Teriak Mahira yang baru saja keluar dari rumah singgah.
"Panjang umur tuh anak." Edo menoleh ke arah Mahira. Begitu juga dengan Aydin.
"Kenapa hayo... ngomongin gue ya?" ucap Mahira menggoda Edo yang terlihat cemberut. Aydin hanya bisa senyum-senyum melihat kebersamaan mereka.
"Kayak ga ada bahan obrolan lain aja. Sempet-sempetnya ngomongin lo, Hir."
"Nah tadi aku denger Bang Edo ngomongin Panjang umur pas gue datang. Hayo ngaku..."
"Udah duduk. Ga usah banyak omong deh."
"Iya iya... Eh Bang, si bojes kemana koq ga masuk tadi?" Mahira sambil duduk, ikut ngobrol bareng Edo dan Aydin. Tapi perhatiannya masih tetap mengarah pada Edo dan tak memperdulikan Aydin.
"Masa sih? dasar anak bandel. Kalo gitu gue cari dia dulu ya. Lo ngobrol sama Bang Wira aja, Hir. Dia temenku, Hir. Bang Wira, ini Mahira. Kalian ngobrol saja sana." Edo pun berlalu setengah berlari menengok ke kanan ke kiri mencari sosok Bojez.
Edo sengaja meninggalkan Mahira dan Aydin berdua agar mereka bisa mengobrol. Dia memilih mengabaikam perasaan tidak jelas yang sekarang ia rasakan.
"Lo beneran temennya Bang Edo?" tanya Mahira tak percaya. Gadis itu sampai menelisik penampilan Aydin dari atas sampai bawah. Walau pakaiannya casual tapi menurut Mahira sangat rapi dan ga pantes jadi Preman.
"Preman sekarang penampilannya udah kayak artis saja, ya Bang? gue ga nyangka kalau elo juga preman kayak bang Edo."
"Masa sih? Gue pakai pakaian biasa aja koq. Sama kayak Edo." Aydin tertolong dengan anggapan Mahira. Karena gadis itu mengira Aydin adalah preman seperti Edo.
"Iya bang beneran. Pertama lihat Bang Edo gue juga ga nyangka dia ketua Preman Kelompok Barat. Penampilannya itu kayak artis. Udah gitu wangi banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABI
SpiritualitéFOLLOW DULU YA. BIAR BISA BACA SELURUHNYA. Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia pang...