Edo semakin hari semakin ingin bertambah baik. Anting kecil di telinganya kini sudah dilepas semenjak dia ikut neneknya di pesantren. Hanya tato di lengannya yang masih tersisa. Suatu saat dia berniat ingin menghapusnya.
"Hari ini jadi pulang ke rumahmu, Nak?" tanya Neneknya Edo.
"InsyaAllah jadi, Nek. Besok pagi saya pulang ke sini lagi, Nek." Edo sekarang sudah menenteng tasnya dan akan mengeluarkan motornya.
"Kenapa kamu tidak meninggalkan semuanya saja, Dris?"
"Maaf, Nek. Saya belum bisa. Soalnya di sana banyak orang yang bergantung sama saya, Nek."
"Jaga diri ya, Dris. Amalkan apa yang sudah kamu dapat di sini."
"Iya, Nek. Saya hanya pergi sehari saja, Nek." Edo mencium tangan neneknya yang telah keriput. Edo bahagia karena sekarang dia mempunyai seseorang yang sangat menyayanginya. Meski dia tidak lagi menganggap ibunya ada.
Flashback On
Setelah lama berpisah akhirnya Edo kembali ke pesantren milik kakeknya. Walau ternyata sang Kakek sudah meninggal dua tahun yang lalu. Edo sempat menanyakan tentang ibu kandungnya. Yang sekarang tidak tahu ada dimana.
"Nek, apakah ibu pernah ke sini?"
"Pernah Edo, hanya sesekali saja dia datang ke sini bersama suaminya yang baru. Dia memberi bantuan setiap bulan untuk pesantren ini." Nenek Nuriyah menyiapkan makan dan minum untuk Edo sambil bercerita.
"Kenapa dia begitu tega menikah lagi Nek? Apa dia tidak ingin bersama-sama lagi dengan ayah di surga nanti?" Edo masih menyimpan perasaan kesal pada ibunya.
"Sudahlah Idris, kamu tidak tahu apa-apa, Nak. Kamu Jangan terus-terusan menyalahkan ibumu." Nuriyah berusaha untuk menasehati Edo. Sejak Ibunya memutuskan untuk menikah lagi, Edo dengan keras menentang. Bocah laki-laki berusia 5 tahun yang sudah terbiasa mandiri itu akhirnya meninggalkan rumah dan hidup terlunta-lunta di jalan bersama sahabat kecilnya Andri yang sudah yatim piatu.
"Apa adik perempuanku juga pernah diajak ke sini?"
"Ziya? tidak pernah. Ibumu biasanya datang dengan suaminya saja, Nak. tapi tidak pernah membawa adikmu ke sini. Ibu dan Ayah tirimu sangat menyayangimu, Dris."
"Ibu benar-benar jahat. Kalau dia sayang, kenapa selama ini dia tidak pernah mencariku, Nek?" Edo jadi tidak berselera makan makanan yang ada di depannya.
"Selama ini ayah tirimu selalu menyuruh orang untuk mencarimu, Nak. Dan mereka selalu mengabarkan perkembangan pencarianmu pada Nenek setiap kali datang kesini. Tapi setelah lima tahun setelah kamu pergi, kami berusaha mengikhlaskan. Karena kamu tidak juga ditemukan. Jadi tidak benar kalau mereka tidak pernah mencarimu, Nak."
"Saya tidak suka punya ayah tiri, Nek. Saya inginnya Ibu setia sama ayah."
"Dris, kejadian itu sudah sangat lama Nak. Kamu harus bisa memaafkan ibumu. Kamu tahu waktu itu usia ibumu masih belia. Dia masih sembilan belas tahun. Kasihan kalau dia harus hidup sendirian tanpa pendamping sedangkan harus mengurusmu dan juga adikmu." Edo ?mendengarkan nasehat neneknya dengan seksama. Saat itu dia memang masih sangat kecil. Dia tidak tahu jika keadaannya waktu itu sangat sulit. Dan dia juga tidak tahu kalau saat ayahnya meninggal, ibunya masih berusia sembilan belas tahun.
Flashback off
Edo meninggalkan pesantren setelah hampir satu bulan ia di sana. Dan setiap dua hari dia pulang ke tempat anak-anak jalanan. Untuk mengecek kondisi di sana. Meski sudah ada Andri, Nita dan anak buahnya yang lain, tapi Edo tetap menyempatkan waktu kembali ke sana. Dia masih berat meninggalkan dunianya. Walau dia tahu, cepat atau lambat dia akan meninggalkan tempat itu dan kehidupan gelapnya. Apalagi jika nanti lamarannya di terima, dia akan benar-benar meninggalkan dunianya untuk bisa jadi imam yang baik bagi Mahira.
Mahira.. Gadis cantik yang selalu mengganggu pikirannya. Dan seseorang yang bisa membuat Edo belajar menjadi lebih baik karena ingin memantaskan diri buat Mahira.
Sampai di rumah singgah pelangi, dia melihat banyak anak-anak yang keluar masuk rumah belajar. Edo senang karena mungkin Mahira sedang mengajar di sana. Dia memarkirkan motornya, menenteng tas ransel. Dengan senyum tipisnya ia berjalan menuju rumah belajar. Edo melihat dari kaca jendela. Betpa kecewanya dia saat tahu kalau yang sedang mengajar bukan Mahira, tapi Anisa.
Edo terduduk lesu di atas ban mobil yang biasa ia pakai untuk duduk. Menengok ke kanan dan ke kiri tak ada seorangpun anak buahnya yang berada di sana. Dia akan menunggu sampai Anisa selesai mengajar. Dia ingin tahu kenapa Mahira tak pernah kelihatan mengajar lagi.
"Bang Edo!!" teriak salah seorang anak yang sedang membuang sampah di luar rumah belajar. Edo hanya menoleh sekilas.
Semua anak-anak yang ada di dalam pun melihat ke luar termasuk Anisa. Sahabat Mahira itu baru melihat Edo sekarang. Hari-hari sebelumnya, dia tidak pernah melihat Edo di sekitar sana. Padahal biasanya Edo selalu berkeliling memastikan tidak ada anak-anak yang bolos belajar.
"Kamu kerjakan ini dulu ya, Kakak mau bicara dulu dengan Bang Edo." ucap Anisa pada anak-anak yang sedang dia ajar.
"Iya Kak." Jawab anak-anak serempak."
Anisa berjalan ke arah dimana Edo duduk saat ini. Dia melihat Edo terlihat sedih. Entah kenapa.
"Bang Edo," Sapa Anisa lirih. Dia hanya berdiri di samping Edo. Karena di situ hanya ada satu ban yang sudah diduduki oleh Edo.
"Sa.. Mahira kemana? kenapa dia tidak pernah datang ke sini lagi?"
"Mahira tidak akan mengajar di sini lagi, Bang."
"Emang ada apa? apa dia masih marah sama gue? kenapa dia tidak percaya kalo gue ga punya cewek?"
"Bukan cuma masalah itu saja, Bang. Ada masalah penting yang harus abang tahu."
"Tentang apa, Sa?"
"Abang benar-benar cinta sama Mahira?"
"Iya mencintai Mahira.Gue selama satu bulan ini pergi ke pesantren karena ingin memperbaiki diri.Gue pengen menjadi orang yang pantas untuk Mahira." Edo mengatakan itu dengan serius. Terlihat dari raut wajahnya. Anisa tidak tega memberitahukan kabar yang ia bawa kepada Edo. Laki-laki itu sepertinya sangat mencintai Mahira. Tapi lebih kasihan lagi jika di terlalu berharap pada Mahira yang sebentar lagi akan menikah. Ya kurang dua hari lagi Mahira melepas masa lajangnya.
"Bang, aku mau bilang sesuatu sama kamu. Tapi kamu jangan kaget ya. Aku hanya tidak mau kamu terlalu berharap. Yang pada akhirnya membuatmu terluka."
"Memangnya ada apa Nis?" Edo menoleh ke arah Anisa yang tiba-tiba saja terlihat pucat wajahnya. Ia merasa ada sesuatu yang buruk yang akan Anisa sampaikan padanya. Apa telah terjadi sesuatu dengan Mahira? Apa itu ada hubungannya kenapa Mahira tidak lagi mengajar di rumah belajar Pelangi? Edo bertanya-tanya sendiri.
"Bang, Mahira lusa akan menikah dengan lelaki pilihan Abinya. Mahira sudah menyerah, Bang. Dia menerima perjodohan itu. Dan lusa, dia akan resmi menjadi istri orang lain."
"Nisa lo ga bohong kan?" Edo berdiri. Menatap Anisa dengan tajam. "Prakk." Edo menendang pot bunga yang ada di dekatnya hingga hancur berkeping-keping. Nafasnya memburu.
"Sabar bang, abang tenang ya. Abang harus ikhlas melepaskan Mahira. Jangan berharap lagi pada Mahira ya." Anisa ketakutan. Anak-anak yang sedang belajar juga keluar melihat Edo yang sedang marah.
"Ga, Nis. Aku akan datang ke rumahnya sekarang. Aku harus membatalkan pernikahan itu."
"Bang jangan Bang. Jangan buat semua tambah runyam." Edo meninggalkan tasnya. Dia mengambil motor dan mengendarainya. Dia akan pergi ke rumah Mahira. Tapi sebelumnya ia kana menemui seseorang terlebih dahulu. Karena Edo tahu dengan siapa Mahira di jodohkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(TAMAT) CALON IMAM PILIHAN ABI
SpiritualFOLLOW DULU YA. BIAR BISA BACA SELURUHNYA. Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia pang...