Pukul 2 pagi. Matahari tentu belum menampakkan dirinya. Bulan masih setia menemani orang-orang yang terlelap. Lelah dengan aktivitasnya kemarin.
Pukul 2 pagi, disaat orang lain terlelap, seseorang terbangun dari tidurnya. Bukan karena apa-apa. Ia mendengar sesuatu dari luar kamarnya. Suara orang-orang yang berteriak, disertai dengan barang-barang yang sengaja dilempar, tentu mengusik tidur lelapnya.
"Kau.. kenapa tega melakukan ini padaku? Pada Junho?"
"Diamlah. Atau kau akan membangunkan Junho. Dan jika kau bertanya, kenapa? Itu karena aku muak denganmu. Aku muak dengan kalian semua! Aku sudah bosan hidup dengan kalian."
Itu suara ibu dan ayahnya. Hal yang selanjutnya ia dengar adalah, suara pintu yang ditutup dengan kasar, dan suara mesin mobil yang meninggalkan rumahnya. Junho menghela napas dengan kasar. Ia benar-benar tidak suka jika berpura-pura tidak tahu apa-apa setelah kedua orang tuanya bertengkar. Junho sudah bukan lagi anak kecil. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti situasi yang sedang terjadi.
Junho tak bisa tidur setelahnya. Pikirannya kacau. Walaupun ia paham dengan situasi yang terjadi, ia tak tahu penyebab dari situasi ini. Junho masih tidak berubah dari posisi berbaringnya hingga sinar mentari mulai memaksa menerobos celah-celah jendela kamarnya. Yang membuatnya mau tak mau harus bangkit dan melakukan aktivitasnya.
Junho turun setelah membersihkan diri. Masih terlalu awal untuk pergi ke universitas. Jadi, ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di depan meja makan. Menunggu ibunya selesai memasak. Mungkin ibunya terlalu fokus dengan kegiatannya, hingga tak menyadari keberadaan Junho di balik meja makan.
"Eomma!" Panggilnya dengan pelan.
"Aish.. Junho-ya. Kau mengejutkan Eomma."
"Eomma sedang memasak apa? Aromanya membuat cacing di perutku meronta-ronta." Ucapan Junho membuat ibunya tertawa. Matanya bahkan juga tersenyum ketika tertawa. Sangat mirip dengan Junho.
"Eomma memasak makanan kesukaanmu. Ada sup iga sapi, kimchi, dan juga kimbap."
Junho bangkit dari tempatnya. Ia melihat apa yang ibunya lakukan. Junho memeluk ibunya dari belakang. Kepalanya bertumpu pada pundak ibunya. "Eomma.." Ibunya mengusap lembut helaian rambut Junho.
"Wae? Kenapa kau tiba-tiba menjadi manja, hmm?" Junho hanya menggeleng sebagai jawabannya.
Benerapa menit kemudian, ibunya selesai memasak. Mereka pun menikmati sarapan bersama. Junho masih berusaha pura-pura tidak tahu apa-apa di depan ibunya. Begitu juga sebaliknya. Ibunya berusaha terlihat 'baik-baik saja' di depan Junho.
"Eomma. Appa dimana?" Pertanyaan Junho membuat gerakan ibunya terhenti. Ia menatap Junho lamat-lamat, kemudian tersenyum.
"Appamu sedang banyak pekarjaan. Pagi buta tadi, ia berangkat terlebih dahulu." Junho mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian melanjutkan sarapannya. Tak berselang lama, Junho menandaskan sarapannya. Sebelum berangkat, Junho mencium pipi ibunya singkat.
---
Seharian Junho tidak fokus dengan apa yang ia kerjakan. Melamun, tidak menanggapi lawan bicaranya, dan banyak terdiam. Itu semua yang dilakukan Cha Junho seharian ini. Membuat tanda tanya imajiner di kepala teman-temannya.
Hampir tengah malam, ketika Junho berjalan di persimpangan yang tak jauh dari rumahnya. Banyak urusan yang harus ia selesaikan. Yang membuatnya mau tak mau harus pulang hampir tengah malam. Setelah sampai di sepan rumah, hal yang pertama kali ia lihat adalah mobil milik ayahnya. Junho membuka pagar rumahnya. Ketika ia hendak meraih kenop pintu rumahnya, ia mendengar sesuatu yang pecah.
Junho berlari ke dalam rumahnya. Ia sangat terkejut melihat ibunya ditampar oleh ayahnya dengan sangat keras, hingga terjatuh. Junho segera menghampiri ibunya.
"Appa! Kenapa kau melakukan ini?" Junho menatap ayahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, tatapannya jatuh pada seorang wanita yang berdiri di belakang ayahnya. Sekarang ia benar-benar mengerti situasi yang sedang dihadapinya.
"Wae? Kau mau jadi pahlawan kesiangan untuk eommamu, ha?"
"Appa lebih memilih wanita itu dari pada eomma? Kalau begitu, jangan bawa wanita itu ke rumah. Dia tak pantas berada di sini. Ini rumah eomma."
"Ya! Jaga ucapanmu, Cha Junho!" Ucapan Junho ternyata malah membuat ayahnya semakin marah. Ia menghadiahi Junho dengan satu tamparan di pipinya.
"Junho!" Ibunya memekik ketika melihat anaknya ditampar seperti itu. "Jangan! Jangan pukul Junho! Pukul saja aku sesukamu. Jangan Junho!" Ibu Junho membawa Junho ke belakang tubuhnya.
"Baiklah. Sesuai keinginanmu." Ayah Junho mengambil stik golf yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia memukulkan stik golf itu ke ibu Junho. Junho tidak bisa diam. Sebelum stik golf itu mengenai ibunya lagi, ia menahan stik itu. Ayahnya semakin naik darah. Ia hendak memukul Junho lagi. Namun kali ini Junho menahan tangan ayahnya. Kemudian melayangkan satu pukulan pada pria yang dulu dengan bangga ia sebut dengan 'ayah'. Ayahnya tersungkur. Wanita di sebelahnya membantunya berdiri.
"Lihatlah anakmu. Dia dengan tidak sopannya memukulku."
"Tidakkah Anda sadar, Tuan. Sifatku benar-benar mirip denganmu. Aku sangat menyanjung Anda, dulu. Tapi, semenjak Anda lebih memilih wanita itu dari pada ibuku..." Junho menggantung kalimatnya. Ia memeluk ibunya yang berdiri di sebelahnya. "Aku jadi ragu, apa Anda pantas menerima sanjunganku itu."
---
Minhee mengedarkan pandangannya untuk mencari sahabatnya. Sudah satu jam ia berkeliling ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi Junho. Namun belum menemukan pemuda bermarga Cha itu. Minhee tidak masalah jika Junho pulang larut. Toh Junho juga lelaki. Yang menjadi masalah adalah ibu Junho sampai menelponnya untuk menanyakan keberadaan Junho. Jika sudah seperti itu, pasti telah terjadi sesuatu dengan Junho.
Kini Minhee berjalan di pinggir sungai yang juga biasa Junho kunjungi. Tempat itu harapan terakhir Minhee untuk menemukan Junho. Seletelah beberapa menit menyusuri aliran sungai, Minhee melihat siluet seseorang yang duduk di pinggir sungai sambil melempar batu-batu kecil di sekitarnya. Minhee sangat bersyukur ketika menyadari bahwa orang itu adalah orang yang ia cari. Cha Junho.
"Ya! Tidakkah kau tahu sekarang pukul berapa? Eommamu mengkhawatirkanmu, Junho-ya." Junho tak menanggapi Minhee yang kini ikut duduk di sebelahnya. Minhee juga mengikuti kegiatan mari-melempar-batu-ke-sungai yang Junho lakukan. "Ya! Jika kau tak ingin pulang ke rumah, kau bisa menginap di rumahku. Setidaknya jangan seperti ini."
Hening. Junho menghentikan kegiatannya. Ia menatap langit yang di penuhi oleh gumpalan gas, yang disebut bintang.
"Kau tahu, Minhee. Sebenci apa pun manusia dengan manusia yang lain, terutama orang yang telah membuatmu ada di dunia ini, rasanya sangat sulit. Semarah apa pun kau pada orang yang telah kau sayangi, pasti ada perasaan menyesal setelahnya. Walupun orang itu telah mengecewakanmu."
Ya. Minhee tahu. Sangat tahu. Minhee tahu perasaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Circle of Love
Romance'Nyatanya semua orang di dunia ini sama. Mereka tamu yang datang tak diundang, menetap untuk waktu yang tak lama, dan pergi dengan tiba-tiba.' -Kang Daniel 'Hyung! Kau dimana? Apa kau baik-baik saja? Aku ingin segera bertemu denganmu, Hyung!' -Kang...