An Angel

8 3 0
                                    

Suara tangis Daniel terdengar nyaring. Pun tidak membuat seseorang berbelas kasih pada bocah itu. Di depan sebuah komidi putar, Daniel duduk sambil memeluk lututnya. Buliran cairan bening terus saja mengalir dari mata rubah Daniel. Membuat sungai air mata di pipi bocah laki-laki itu.

Daniel paling membenci menangis. Apalagi menangis di depan orang atau di tempat umum. Baginya, menangis cukuplah saat ia sendirian di kamar. Menangis di depan orang itu terlihat lemah. Daniel tidak ingin terlihat seperti itu.

Malam semakin larut. Udara juga semakin terasa dingin. Mantel yang Daniel gunakan juga sudah tidak lagi melindungi kulitnya dari dinginnya udara yang menusuk. Di tengah tangisannya, Daniel tidak berhenti merutuki dirinya sendiri. Ia tidak berhenti mengalahkan dirinya sendiri.

'Eomma.. maafkan Daniel. Niel tidak bisa menjadi kakak yang baik. Niel tidak menjaga Minhee dengan baik. Sekarang Niel tidak tahu harus mencari Minhee dimana? Niel harus bagaimana eomma?'

Seiring dengan derasnya air mata Daniel, ia mengubur wajahnya di antara lipatan tangannya. Sejak tadi ia mencari Minhee, namun tidak kunjung menemukannya. Daniel lelah. Ia juga kesal dengan dirinya sendiri.

"Nak, kenapa kau menangis? Dimana orang tuamu?"

Suara seseorang juga usapan di punggung Daniel membuat anak itu mengangkat kepalanya. Di depannya, ada seorang wanita paruh baya yang tengah berjongkok untuk menyetarakan tingginya dengan Daniel. Usianya mungkin sudah menginjak angka empat puluh dua atau empat puluh lima. Sepasang netra wanita itu menatap Daniel dengan teduh, bak tatapan seorang ibu pada anaknya. Membuat Daniel menangis semakin kencang.

"Huaaa.. Niel tidak tahu dimana appa. Ni.. hiks.. Niel juga.. terpisah dengan Minhee. Hiks.. hiks.. Niel sudah mencarinya kemana pun. Hiks, tapi tidak kunjung bertemu.." Daniel sesenggukan. Berusaha menjelaskan apa yang terjadi kepada wanita paruh baya itu. "Niel bukan kakak yang baik. Ka.. karena, hiks.. Niel tidak menjaga Minhee dengan baik. Huaaa.."

Wanita itu membawa Daniel ke dalam dekapannya. Ia mengusap surai dan punggung Daniel dengan lembut. Berusaha menenangkan bocah sembilan tahun itu. Setelah sekian lama tidak merasakan dekapan seorang ibu, detik itu juga Daniel kembali merasakannya. Sedikit banyak membuat hatinya menghangat dan tangisannya pun mereda.

"Sudah ya. Jangan menangis. Anak laki-laki tidak seharusnya menangis." Wanita itu melepas pelukannya, menangkup kedua sisi wajah Daniel, kemudian mengusap air mata yang membasahi pipi bocah itu dengan ibu jarinya. "Memangnya tadi appamu hendak ke mana?"

"Appa tadi hendak pergi ke toilet. Tapi setelah lama, appa tidak kunjung kembali."

Wanita itu tersenyum lembut. Lebih tepatnya tersenyum iba. Sudah mengerti masalah yang Daniel hadapi. Tangannya masih mengusap lembut surai Daniel. "Oh iya. Siapa namamu? Aku Lee Miyeon. Kau bisa memanggilku Nenek Lee."

"Aku Kang Daniel. Nenek bisa memanggilku Daniel atau Niel."

"Baiklah, Niel-ah. Karena ini sudah larut, bagaimana jika kau ikut pulang dengan Nenek."

Nenek Lee menawarkan. Ia masih setia berjongkok menyejajarkan diri dengan Daniel. "Tapi.."

"Tenang saja. Kita bisa mencarinya besok." Seakan tahu apa yang Daniel pikirkan, Nenek Lee mengusap lengan Daniel.

---

Dua bulan kemudian..

The Circle of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang