Go Home and Go

7 3 0
                                    

"Terima kasih sudah mengantarku menemui eomma dan appa, Minhee-ya."

Minhee mengaduk Americanonya sebelum mulai menyesap kopi itu. Di depannya, ada Soojin yang tengah memainkan gelas Thai tea yang isinya sudah tinggal setengah. "Tidak masalah, Chérie. Kau juga sudah membantuku tadi."

Keduanya tengah menikmati secangkir kopi di salah satu kafe yang terletak tidak jauh dari pemakaman kota. Setelah Minhee dan Soojin selesai menyebarkan poster, Soojin mengajak kekasihnya untuk pergi menemui orang tuanya di pemakaman. Tidak. Orang tua Soojin tidak bekerja di pemakaman. Orang tua Soojin telah terlebih dahulu pergi ke pangkuan Tuhan.

"Aku tiba-tiba merindukan orang tuaku. Jika saja waktu bisa diputar atau aku bisa memilih, maka aku lebih memilih tidak perlu lahir."

"Kenapa? Jangan berbicara seperti itu Chérie."

Soojin memandang ke luar jendela. Sungguh. Rasanya ada yang baru saja menabur bawang di sekitarnya. Matanya memanas dan berair. Siap tumpah kapan saja. "Kurasa eomma dan appa akan masih ada jika aku tidak di lahirkan. Eomma mengorbankan nyawanya demi diriku. Kemudian tak lama kemudian, appa menyusul. Aku sangat merindukan mereka."

"Aku mengerti perasaanmu, Chérie. Aku juga merasakan perasaan itu. Aku rindu orang tuaku. Orang tua kandung. Maupun orang tua angkatku." Minhee menggenggam tangan mungil Soojin. Mencoba menyalurkan rasa tenang pada gadis itu.

"Orang tua angkat?" Soojin tampak bingung. Ia menatap Minhee seakan meminta penjelasan.

"Iya. Mau kuceritakan masa laluku?"

"Kau tidak keberatan?"

"Tentu saja tidak. Kau kekasihku, Chérie. Sepasang kekasih sangat wajar, atau mungkin malah harus saling berbagi."

Soojin tersenyum. Selalu ada rasa tersendiri saat Minhee memanggilnya sebagai kekasih. Rasanya menyenangkan. Seperti ada banyak sekali kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Membuat ada debaran menyenangkan di dada Soojin.

"Baiklah. Aku akan bercerita."

"Hm.. aku akan mendengarkan."

"Dulu, setelah petugas itu mengantarku ke panti asuhan, aku sering sekali menangis karena ingin bertemu dengan appa dan Niel hyung. Seingatku.. aku juga sering sakit karena tidak mau makan. Yang kulakukan hanya menangis dan mencari kedua orang itu. Hahaha." Minhee tertawa sejenak. Tawa yang menyiratkan segala kesedihannya kala itu. Laki-laki itu meminum kopinya, sebelum kembali bercerita.

"Mungkin sekitar dua atau tiga bulan aku seperti itu. Hingga akhirnya, Tuan Shin membawaku pulang ke rumahnya. Panti asuhan itu memang rumah Tuan Shin. Tapi ia memiliki satu rumah lagi untuk istrinya. Katanya, lebih baik aku diasuh langsung olehnya dan istrinya. Aku pun diangkat menjadi anaknya."

"Lalu, bagaimana kau bisa ada di Seoul?" Soojin bertanya.

Minhee mengetukkan ujung jari telunjuk di dagunya. Tampak berpikir atau mungkin mengingat-ingat sesuatu. "Ah.. itu." Minhee memekik senang saat berhasil mengingat. "Saat aku mulai duduk di bangku sekolah menengah atas, Tuan Shin memintaku untuk merantau ke Seoul. Karena ia ingin aku mendapat pendidikan yang bagus."

"Selama di Seoul, tentu bukan menjadi hal yang mudah. Aku mulai bekerja paruh waktu saat itu. Bukannya uang yang dikirim oleh Tuan Shin tidak cukup. Itu malah terlalu banyak. Aku hanya tidak ingin selamanya bergantung pada mereka."

Soojin menarik satu kesimpulan. Bahwa Minhee sudah tinggal di apartemen itu sejak lama. Sejenak ia sangat kagum dengan Minhee. Bisa membagi waktu antara bekerja dan belajar dengan sangat baik. Ah, iya. Soojin juga masih ingat saat masa awal mereka bertemu. Ia kerap kali melihat Minhee tengah menjaga kasir sambil membawa bukunya untuk belajar. Tidak heran jika Minhee selalu berprestasi di sekolahnya.

The Circle of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang