Brak
Yerim menggebrak pintu. Wanita itu menatap tajam sahabatnya yang terlihat lebih tenang. Kini, keduanya berada dalam sebuah ruangan kosong yang Nampak seperti ruangan salah satu staff museum. Yerim tak peduli. Ia memilih mengunci ruangan itu agar bisa leluasa berbicara dengan Jennie.
"Marah?"
Sungguh tak terlihat takut atau tertekan. Jennie malah duduk sembari menyilangkan kaki dengan tangan bersedekap. Ia menatap santai kearah Yerim yang terlihat sudah begitu marah.
"Kenapa kau berbuat sejauh ini Jennie? Aku sudah mengatakan biarkan aku yang mengurus urusanku sendiri, kenapa kalian seperti ini huh? Apakah kalian meragukanku?"
"Kau hanya akan berdiam diri menanti dia untuk datang dengan sendirinya. Apa kau lupa Yerim? Dia bukan Jeon Jungkook-mu. Dia bukan vampiremu. Dia manusia. Tidak bisa hanya berdiam diri menuntut kesadarannya karena sampai kematiannya, ia tak akan pernah sadar jika kita tak bergerak."
"Aku yakin kau juga mengkhawatirkan hal lain," ucap Yerim. Ia masih berdiri dengan tubuh bersandar pada daun pintu dan bersedekap menatap Jennie.
"Ya. Aku takut kau terlalu jauh. Kau membunuh wanita yang tak bersalah."
Yerim berjalan menuju jendela. Ia menyingkap tirai jendela tersebut dan memperlihatkan pemandangan yang memuakkan. Lagi-lagi ia melihat sosok yang ia damba bergandengan dengan wanita yang dikenal sebagai tunangannya, berjalan menuju mobil. Mereka akan pergi.
"Aku tak akan membunuhnya. Tapi jika aku tak bisa membuatnya menjauh dari Jungkook, maka Somi yang akan membunuhnya."
Jennie berdiri. Ia berjalan dengan santai mendekati Yerim. Tangannya ia letakkan di bahu Yerim memberikan sinyal agar wanita itu tak risau. Jennie juga melihat apa yang telah Yerim lihat. Ia melihat sorot kecewa dan sakit dari Yerim, namun keduanya tak bisa melakukan apapun saat ini kecuali hanya sebagai pengamat.
"Pulanglah. Haeun membutuhkanmu."
Ucapan Jennie membuat Yerim menoleh padanya. "Kenapa tiba-tiba membahas Haeun?"
"Well... sudah ratusan tahun sejak kita semua menutup kebenarannya. Dan sekarang, waktunya kebenaran itu terbongkar. Ayolah Yerim, kenapa kau keras kepala sekali? Apa salahnya datang pada Haeun dan mengatakan, mama merindukanmu, bukan kakak merindukanmu."
Yerim berbalik. Ia menjauh dari Jennie berniat meninggalkan wanita itu disana. Tak ingin terlibat pembicaraan lebih jauh, dan tentu saja tak ingin membuat dirinya yang sudah lama tegar, kembali rapuh karena Haeun. Bukan masalah Yerim membenci anak itu, hanya saja, Yerim belum siap mendengar sebutan mama. Itu akan membuatnya semakin merasa sakit. Sakit mengingat kepergian Jungkook yang mengenaskan.
"Kim Yerim," panggil Jennie sebelum Yerim membuka pintu. Tentu saja suara dari Jennie membuat gerakan Yerim yang memutar knop pintu terhenti.
"Haeun harus tau. Separuh dari dirinya adalah bagian dari Jungkook, dan separuh yang lain adalah bagian dari dirimu. Dia harus tau agar bisa lebih waspada lagi. Juga, cobalah pertemukan mereka."
Blam
*
Seorang pria berjalan perlahan menuju suatu lorong dimana lorong itu dipenuhi dengan tumbuhan rambat dengan bunga berwarna putih. Cahaya putih yang terang menanti datangnya pria itu. Silau, namun tak memadamkan rasa penasarannya. Ia berjalan sembari menggerakkan kepala kesana kemari hanya untuk mengamati secara detail, tempat dimana ia berada. Tentu saja ia bingung. Ingatan terakhirnya mengantarkan pada ia yang terlelap di tempat tidur mengenakan piyama tipis berwarna abu-abu.
Pria tersebut melirik kebawah. Ya, ia masih mengenakan piyamanya, namun, ia tak mengerti mengapa bisa berada di tempat yang aneh. Kakinya terasa dingin karena menyentuh langsung pada lantai yang tergenang air sekitar lima sentimeter. Apa ia berada di surga? Kapan ia mati? Apa ia mati ketika tidur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Blood √
FanfictionTakdir itu... lucu. Kenapa aku bilang demikian? Karena memang begitu faktanya. Kami yang berbeda, dipertemukan dan dipisahkan seolah kami tak memiliki perasaan. Perasaan kami tulus namun mengapa takdir dengan kejamnya berlaku demikian? Sungguh, jika...