1

2.5K 303 31
                                    

Dering telepon memenuhi sudut ruang yang dominan berwarna abu-abu. Kepulan asap muncul dari sebuah panci yang berisikan air yang sudah mendidih, pertanda air itu sudah siap. Suara pertemuan pisau dan alas pemotong pun tak mau ketinggalan mewarnai pagi dari apartemen itu. Tanpa peduli sekitarnya, tangan cantik itu terus menerus memotong wortel hingga di potongan terakhir. Setelahnya, potongan wortel itu dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih. Ia berniat membuat sebuah sup.

Detik demi detik telah berlalu berganti menit, dan menit dengan cepatnya berjalan mengubah waktu menjadi satu jam kemudian. Meja makan yang sebelumnya kosong sudah disulap menjadi penuh dengan berbagai jenis makanan. Ada nasi, sup, ayam kecap, telur dadar, buah yang sudah dipotongi menjadi bagian yang pas dimulut, ada juga air putih dan teh hijau. Meja makan yang hanya memiliki dua kursi itu, salah satu kursinya sudah diduduki oleh wanita cantik berkulit putih dengan rambut pendeknya membuatnya terlihat anggun. Ia hanya seorang diri, meski menyiapkan dua piring.

"Kemampuan memasakku sepertinya semakin bagus. Meski aku tak yakin rasanya, semoga kau menyukainya," ujar wanita itu lalu tersenyum getir.

Kembali telepon yang berada di meja ruang tamunya berdering. Mau tak mau, wanita itu beranjak dari tempatnya berada untuk menjawab panggilan dari seseorang. Ia terlalu sibuk dengan kegiatannya sampai-sampai, ia tak mendengar dering telepon itu, atau mungkin, dengar tapi enggan menjawab? Entahlah.

"Kim Yerim disini. Ada yang bisa dibantu?"

"Astaga Kim Yerim? Darimana saja kau? Aku mencoba menghubungimu sedari tadi, dan tak ada jawaban. Apa saja yang kau lakukan, huh?!" suara omelan segera memasuki telinga Yerim membuat gadis itu menggeleng lemah.

"Aku tadi sedang masak di dapur. Maaf aku tak mendengarnya. Ada apa?"

"Alasan saja kau ini. Tak mungkin kau tak dengar telepon yang berdering berkali-kali," masih enggan menjawab pertanyaan Yerim, suara wanita di seberang masih terdengar mengomelinya.

"Aha, baiklah Jennie Kim yang cantik. Aku mendengarnya tapi aku terlalu sibuk dan tak bisa meninggalkan kegiatanku. Ada apa? Katakan."

"Yerim, sadarlah. Kau tak membutuhkan itu semua. Untuk apa kau sibuk-sibuk melakukannya?"

Yerim tersenyum tipis, dan matanya terlihat sedang membayangkan sesuatu. "Hanya ingin."

Jawaban singkat dari Yerim nyatanya tak membuat wanita yang disebut Jennie itu puas. yang ada, Yerim semakin diomeli dan diberi wejangan yang sudah Yerim hapal. Namun, wejangan yang diberikan berlangsung tidak lama kala Jennie mengatakan satu kalimat yang membuat Yerim segera mengetahui maksud dari wanita itu mencoba menghubunginya.

"Kau diundang untuk menjadi salah satu panitia di pameran barang antik bulan depan."

Pameran? Ya, Yerim merupakan donatur utama di tempat-tempat yang mengandung nilai sejarah dan estetik, seperti galeri lukisan dan museum. Yerim sudah aktif dalam pameran-pameran yang melibatkan benda-benda kuno bersejarah maupun pameran seni lukis atau gambar. Jadi, tak heran jika Yerim sering mendapatkan undangan semacam itu.

Yerim mengangguk. "Terimakasih, aku akan datang."

"Pulanglah."

Suara dari seorang pria yang Yerim kenal. Terdengar kasak-kusuk dari seberang yang membuat Yerim yakin jika pria itu merebut ponsel Jennie agar bisa berbicara dengan dirinya. "Pulanglah. Mau berapa lama lagi kau ingin menyendiri disana? Ini sudah sepuluh tahun sejak kau tinggal disana."

"Aku tau. Aku akan pindah," ucap Yerim seolah menolak permintaan sang pria itu untuk pulang.

"Pulanglah. Siapkan kebutuhan pameranmu disini. Tak perlu tinggal di rumah ini jika tak ingin, aku bisa siapkan rumah atau apartemen yang layak di kota."

Cold Blood √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang