"Bye bye, eonni."
Jiho eonni melambaikan tangan sambil tersenyum lebar sementara Jaehyun sajangnim menyapaku dengan ramah. Enaknya punya suami; pergi ada yang nganterin, pulang ada yang jemput, bobo ada yang nemenin, mau ngapa-ngapain bareng-bareng.
"Duluan ya, Yoobin," ujar Jaehyun sajangnim.
"Iya, sajangnim," ujarku sambil mengangguk sopan. "Hati-hati, ya. Bye bye, Liloy."
Jaehyun sajangnim dan Jiho eonni hanya tersenyum saat aku melambaikan tangan ke perut Jiho eonni, meskipun perutnya belum terlihat membesar karena usia kehamilannya baru beberapa minggu.
"Nggak usah panggil sajangnim," sahut Jaehyun sajangnim sambil mengibaskan tangan. "Panggilan santai aja."
"Boleh?" tanyaku ragu-ragu.
Jaehyun sajangnim tertawa. "Ya, boleh dong."
Aku tersenyum kikuk, lalu melirik Jiho eonni yang sedang mengangguk. "Okay, hati-hati eonni," pandanganku lalu beralih pada Jaehyun sajangnim. "Dan op—oppa?"
"Haha, santai aja," ujar Jaehyun sajangnim lalu merangkul bahu Jiho eonni dengan lembut. "Duluan ya."
Jaehyun oppa (wah, masih agak malu untuk memanggilnya begitu) dan Jiho eonni kemudian masuk ke mobil dan pergi. Tinggal aku dan Arin yang ada Jicake, toh bentar lagi juga pulang—cuman perlu beres-beres aja.
"Kamu dijemput Mark?" tanyaku pada Arin yang sedang melepas apronnya.
Arin mengangguk. "Eonni dijemput si ganteng?"
Aku menggeleng. "Enaknya yang punya pacar dan suami. Pulangnya ada yang jemput."
"Makanya cepet jadian dong," ujar Arin dengan nada menggoda.
"Apaan sih," ujarku sambil menunduk malu dan ikut-ikutan membuka apron. Aku kemudian membuka loker dan mengeluarkan jaket dari sana. "Marknya udah jemput?"
"Masih dijalan," ujar Arin lalu menutup loker. "Eonni pulangnya bareng aja sama kita."
"Nggak ah," sahutku santai sambil memakai jaket. "Nggak mau ganggu yang pacaran."
"Ganggu apanya sih," ujar Arin sambil mengikat rambutnya. "Bareng aja. kan kost-an aku sama kost-an eonni searah."
Aku tersenyelum lalu menggeleng. "Nggak mau ganggu yang pacar ah, entar disangka setan. Aku duluan ya."
Arin tertawa dan aku berjalan lebih dulu keluar. Aku masih berjalan menuju halte bis saat ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan alisku berkerut—Sicheng ganteng is calling—semenjak kenal Sicheng, aku jadi lebih sering nerima telepon.
"Halo,"
"Udah pulang?"
"Jawab dulu kek sapaannya," ujarku sambil berjalan menuju halte.
"Oh iya, hai," sahut Sicheng dengan kikuk. "Udah pulang?"
"Udah, ini lagi jalan ke halte," ujarku sambil menjejalkan tangan kiri yang tidak memegang ponsel ke dalam saku jaket. "Kamu udah pulang?"
"Ini lagi jalan ke tempat parkir, mau bawa mobil," ujar Sicheng. "Kamu tunggu di halte ya, jangan naik bis!"
"Hah?" tanyaku bingung. "Kenapa?"
"Saya antar pulang," ujar si ganteng—aku bisa mendengar pintu mobil yang tertutup. "Tunggu sepuluh menit, okay?"
Aku tersenyum namun berusaha keras untuk menahannya, malu banget senyum-senyum sambil jalan ke halte. Nanti disangkanya orang gila. "Okay, hati-hati ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acrasia [✔]
Fanfictie"Sicheng-ssi, kan?" "Jangan pakai ssi, saya nggak suka." "Terus manggilnya apa? Sicheng sayang?" Sicheng tidak seharusnya jatuh cinta pada Yoobin, begitu pun sebaliknya. Mereka terlalu berbeda; bagai dua kutub yang bersebrangan. Tapi baik Sicheng ma...