Sicheng terbangun sepuluh menit setelahnya. Aku masih memangku dagu—sibuk menatap wajah gantengnya saat tidur, aku bahkan gemes sendiri saat melihat deru nafasnya yang teratur. Aneh nggak sih, semenarik itu nontonin cowok tidur? Wkwk.
Sicheng membuka matanya secara perlahan, terus mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia melepaskan boneka yang sedari tadi dipeluk lalu mengucek matanya secara perlahan. Sicheng menarik nafas panjang sambil meregangkan tubuhnya.
"Eh," sapanya begitu melihatku masih memangku dagu untuk menatapnya.
"Hai," sapaku sambil tersenyum lebar.
"Udah mateng?" tanya Sicheng sambil mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk, matanya masih mengerjap lucu.
"Tuh," tunjukku pada ramyeon yang sudah sangat mengembang. "Udah ngembang malah."
"Saya tidurnya kelamaan, ya?" tanya Sicheng sambil menatap jam yang melingkar di tangannya. "Kenapa nggak ngebangunin?"
"Kamu nyenyak banget tidurnya, jadi nggak tega buat bangunin."
Sicheng tersenyum mendengarnya. "Kenapa nggak makan duluan aja?"
Aku menggelengkan kepala. "Nggak seru kalo makan sendiri."
"Duduk sini," ujar Sicheng sambil menepuk pinggiran tempat tidur.
Aku yang sedari tadi hanya duduk di kursi belajar langsung berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk dipinggirannya. Sicheng nih bangun tidur aja ganteng banget. Nggak capek apa ganteng terus?
"Masih lapar nggak? Saya yang masak," ujar Sicheng sambil menyugar rambutnya yang agak berantakan—duh, yang begini nih yang bikin hatiku berantakan. "Kamu tunggu aja disini."
"Nggak usah," ujarku sambil menatapnya. "Udah nggak laper. Lihatin kamu tidur bikin aku kenyang."
Sicheng mengerutkan alisnya dengan bingung. "Emang bisa?"
Aku mengangguk dan si ganteng tertawa pelan. Sicheng melingkarkan tangannya di pinggangku—memelukku dari samping—lalu menaruh dagunya di bahuku, menciptakan sensasi geli sekaligus dugeun-dugeun di jantung ini—bahaya nih, si hati kayaknya tawuran lagi.
"Ngapain?" tanyanya dengan lembut.
Tanganku yang awalnya sedang scrolling Instagram langsung menegang. Suaranya lembut banget, sumpah! Suaranya tuh berat tapi lembut—eh gimana sih ini jelasinnya?
"Bacain comment Instagram," ucapku setelah berhasil menguasai diri agar tidak pingsan di tempat. "Comment temen-temen kamu lucu banget, sih."
Sicheng mengerutkan alisnya. "Emangnya kamu posting foto apa?"
Aku menoleh ke samping—dan kaget karena disambut dengan wajah gantengnya. "Fo—foto kamu," Sial, jadi gagap kan dilihat cowok ganteng.
"Foto saya?" tanya Sicheng dengan bingung. "Foto yang mana?"
"Foto kamu lagi bobo," ujarku sambil menunjukan ponsel yang menampilkan foto yang baru aku posting tujuh menit yang lalu. "Maaf ya aku foto, lucu sih bobonya sambil meluk boneka."
Sicheng menatapku. "Pengennya sih meluk kamu."
Aku kembali berusaha mengulum senyum. Hei, hati, apa kabar? Masih sehat, kan? Jantung, kamu masih berdetak, kan? Otak, kamu masih waras, kan? Kalau begini caranya, aku harus selalu memastikan semua organ tubuhku berfungsi dengan baik.
"Tapi kalau fotonya lagi meluk kamu, nggak boleh di posting."
"Kenapa?"
"Nanti banyak yang sirik," ucapnya sambil tertawa kecil. "Temen-temen aku, maksudnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Acrasia [✔]
Fanfiction"Sicheng-ssi, kan?" "Jangan pakai ssi, saya nggak suka." "Terus manggilnya apa? Sicheng sayang?" Sicheng tidak seharusnya jatuh cinta pada Yoobin, begitu pun sebaliknya. Mereka terlalu berbeda; bagai dua kutub yang bersebrangan. Tapi baik Sicheng ma...