(Gini kali ya kalo mereka tatap-tatapan wkwk)
"Apa dia... mirip saya?"
Aku terdiam. Aku bahkan nggak berani menatap anak perempuan itu, karena aku punya ketakutan yang sama; aku takut menemukan kemiripan di antara keduanya. Sicheng masih memegangi dadanya yang sesak sementara aku hanya mematung menatapnya.
Tak lama seorang wanita keluar dan duniaku rasanya runtuh saat itu juga—it's her, si dia yang selama ini jadi misteri.
Shuhua menegang begitu melihat Sicheng, tangannya bergetar sementara matanya dipenuhi kegelisahan. Keduanya saling menatap satu sama lain, mungkin bukan hanya mata mereka yang saling beradu, dunia mereka juga saling beradu—menabrak satu sama lain dan detik itu pula wanita itu menyunggingkan senyum.
Aku mengerutkan alis, aku tahu arti senyumannya—itu bukan senyum bahagia karena bertemu teman lama, itu senyuman penuh kesedihan dan kegelisahan.
Aku melirik Sicheng, lelaki itu diam saja. Namun aku tahu matanya terfokus pada netra wanita dihadapannya. Dan jujur saja, aku merasa cemburu saat ini.
"Shuhua?"
Aku langsung merutukki diri sendiri. Kenapa justru aku yang mulai bicara, bukannya mereka? Katanya aku nggak mau terlibat dalam masalah mereka, tapi kenapa justru aku yang menceburkan diri dalam masalah mereka?
Shuhua beralih menatapku, bibirnya bergetar. "Yuk, masuk! Kita bicara di dalam."
Aku mengerutkan alis. Shuhua berbicara dalam Bahasa Korea, meskipun aksennya sedikit unik tapi aku masih bisa memahami kata-katanya dengan jelas. Shuhua berbalik dan masuk ke dalam sementara Sicheng masih terdiam di tempatnya.
"Sicheng..." ucapku, mengusap lengannya.
Sicheng menoleh, lalu menggeleng. "Saya takut, Yoobin."
Aku juga takut kehilangan kamu.
Aku hanya menipiskan bibir, membentuk seulas senyum lemah. "It's okay. Kita masuk, ya?"
Sicheng mengerjapkan mata, tangannya terjulur untuk meraih tanganku lalu menggenggamnya dengan erat. Aku menatap genggaman tangan kami dengan perasaan campur aduk. Pikiranku dipenuhi berbagai macam kemungkinkan; mungkin saja ini kali terakhir kami saling menguatkan satu sama lain, mungkin saja ini genggaman tangan kami yang terakhir, mungkin saja setelah ini mereka akan hidup bahagia semantara aku menderita, mungkin saja—aku nggak sanggup memikirkan berbagai macam kemungkinan lainnya.
Di dalam flower shop ternyata ada satu meja dengan empat kursi, sepertinya meja buat nge-teh karena aku bisa melihat tea pot yang menguarkan aroma khas dari teh. Shuhua sudah duduk disana, tangannya saling bertaut untuk menyembunyikan kekalutannya.
Dan selama sekian detik, aku melihat tatapannya jatuh pada tangan Sicheng yang menggengam tanganku. Shuhua kemudian tersenyum ramah, namun aku tahu senyumannya hanyalah topeng untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Tangan wanita itu meraih tea pot, lalu menuangkan teh kedalam cangkir kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acrasia [✔]
Fanfiction"Sicheng-ssi, kan?" "Jangan pakai ssi, saya nggak suka." "Terus manggilnya apa? Sicheng sayang?" Sicheng tidak seharusnya jatuh cinta pada Yoobin, begitu pun sebaliknya. Mereka terlalu berbeda; bagai dua kutub yang bersebrangan. Tapi baik Sicheng ma...